Pertemuan Mustafa Davis dengan Usama Canon
sepertinya bukan sebuah “kebetulan” semata. Karena dari pertemuan yang
serba kebetulan itu, mengantar Mustafa menjadi seorang muslim. Sekarang, 15 tahun sudah Davis menjadi muslim dan peristiwa “kebetulan” tak pernah ia lupakan.
Davis secara tak sengaja bertegur sapa
dengan Usama lima belas tahun yang lalu, saat sedang menuju ke tempat
kuliahnya. Usama mengomentari t-shirt
yang dikenakan Davis dan menyalaminya. Pertemuan selanjutnya di kelas
bahasa Spanyol, karena ternyata mereka sama-sama mengambil kelas bahasa
itu dan kerap duduk bersisian di dalam kelas. Keduanya akhirnya tahu
bahwa mereka sama-sama menyukai musik
dan seni. Oleh sebab itu, Davis dan Usama–yang jago main piano–kadang
menyelinap ke aula kampus karena ada piano di sana. Mereka
menghabiskan waktu berjam-jam untuk bermain musik, dan kadang diselingi
dengan perbincangan tentang spiritualitas. Itu mereka lakukan hampir
setiap hari selama satu semester perkualiahan.
Suatu hari saat menikmati makanan sushi di restoran Jepang dekat kampus. Davis curhat ke Canon
tentang kehidupannya yang agak kacau dan keinginannya untuk kembali ke
“jalur” kehidupan yang benar. Kala itu, Davis tinggal seorang diri di
San Jose. Malam bekerja, siang kuliah. Davis merasa masa lalunya
menjadi beban yang selalu menghantui hidupnya dan mulai berpikir bahwa
untuk mengatasi segala problema kehidupan yang dialaminya dengan cara
kembali ke gereja, menjalani kembali kehidupan yang religius.
“Saya bilang
pada Usama bahwa saya sedang mempertimbangkan untuk kembali pada
Katolik, agama saya untuk memperbaiki hidup. Usama lalu bertanya,
apakah saya pernah berpikir tentang agama Islam dan saya jawab tidak
pernah, karena saya merasa Islam adalah agamanya orang Arab atau agama
kelompok separatis kulit hitam. Saya juga beranggapan bahwa orang-orang
Islam yang saya jumpai adalah orang-orang yang munafik dan saya tidak
pernah melihat orang Islam yang menjalankan agamanya dengan baik,”
tutur Davis
Usama, kata Davis, lalu menceritakan tentang kakak lelakinya, Anas Canon
yang pindah ke agama Islam tak lama setelah ia aktif dalam organisasi
Nation of Islam. Usama mengatakan bahwa Islam bukan hanya untuk orang
Arab dan dari yang ia tahu, Islam adalah agama yang universal, meski
Usama sendiri saat itu belum memeluk Islam.
Dalam perbincangan itu, Usama juga
menanyakan apakah Davis tahu tentang Nabi Muhammad Saw. dan Davis
menjawab bahwa ia hanya kenal sosok Elijah Muhammad.
Usama lalu menjelaskan bahwa Nabi Muhammad yang ia maksud berbeda
dengan Muhammad yang Davis kenal. Pada titik ini, seperti biasanya,
Davis berusaha menghindar jika ada orang yang mulai bicara banyak soal
agama. Apalagi setelah ia tahu Nabi Muhammad itu berasal dari Arabia,
Davis merasa Islam bukan untuknya. Obrolan hari itu itupun selesai
begitu saja.
Surat Maryam Membuat Davis Menggigil
Surat Maryam Membuat Davis Menggigil
Suatu malam, setelah kerja, Davis ke
toko buku untuk membeli Alkitab. Ia melewati rak berisi buku-buku
“Filosofi Timur” dan melihat sebuah buku bersampul hijau bertuliskan
“MUHAMMAD” dengan huruf-huruf yang berwarna keemasan. Ia berhenti dan
berpikir sejenak, lalu meraih buku itu. Judul lengkap buku itu “MUHAMMAD – His Life Based On The Earliest Sources” yang ditulis oleh Martin Lings.
“Yang menarik perhatian saya adalah kata
‘earliest sources’ dalam judul itu. Saya bermaksud beli Alkitab di
toko itu, dan saya tahu ada perdebatan teologis tentang
kesalahan-kesalahan yang ada dalam alkitab, yang juga sangat mengganggu
pikiran saya. Maka, saya buka buku ‘MUHAMMAD’ itu, meski sulit
mengucapkan nama-nama Arab dalam buku tersebut, saya mencoba membaca
beberapa baris isi buku. Empat atau lima baris kalimat yang saya baca
menyebut kata ‘Qur’an’ beberapa kali. Nama-nama Arab yang baca makin
membuat saya merasa bahwa Islam adalah agama orang Arab dan bukan yang
saya inginkan dalam hidup saya. Saya pun meletakkan buku itu,” ungkap
Davis.
Tapi saat ia berjalan meninggalkan rak
buku itu, huruf keemasan bertuliskan “MUHMMAD” muncul kembali di
pelupuk matanya dan membuat Davis kembali ke rak buku tadi. Kali ini,
Davis memperhatikan buku dengan judul “The Quran”. Ia ingin mengabaikan
buku itu, tapi ia ingat bahwa kata “Quran” disebut beberapa kali dalam
buku Martin Lings yang baru saja ia baca-baca. Davis akhirnya
mengambil buku “The Quran” dan membuka halamannya secara acak, dan
kebetulan yang ia buka adalah halaman pertama Surat Maryam. Davis membaca terjemahan surat itu dari awal sampai akhir. Saat membaca isi surat Maryam yang menceritakan kelahiran Nabi Isa, David merasakan tubuhnya panas dingin. Ia tidak menyangka Muslim juga meyakini keajaiban dalam kelahiran “Yesus” yang diyakini dalam agama Davis, namun Muslim
tidak meyakini Yesus sebagai anak dari Tuhan seperti keyakinan umat
Kristiani. Selama ini, meski sebagai pemeluk Katolik, Davis menganggap
ajaran bahwa Tuhan punya anak lelaki, sungguh tidak masuk akal.
Tanpa tahu apa sebabnya, Davis menangis terisak-isak di toko buku itu saat membaca Al-Quran yang dipegangnya. Ia memutuskan untuk membelinya agar ia bisa membaca
lebih banyak tentang apa yang diyakini kaum Muslimin. “Dalam situasi
perasaannya yang sedang emosional, Saya betul-betul sudah lupa untuk
membeli Alkitab dan meninggalkan toko buku itu,” ujar Davis.
Kejadian Aneh dalam Sehari
Setelah membeli Al-Quran, keesokan harinya Davis ke kampus dan di perjalanan ia melewati sebuah toko kecil milik seorang lelaki Sinegal yang menjual kerajinan tangan, dompet dan boneka khas Afrika. Davis tertarik melihat-lihat dompet. Lelaki Sinegal itu menyapanya, “Hello sobat apa kabar?”. Davis menjawab, “baik-baik saja, terima kasih.”
Davis bercerita, lelaki Sinegal itu lalu memperhatikannya dengan seksama, tersenyum dan melontarkan pertanyaan yang membuat Davis kaget. “Sobat, apakah kamu seorang muslim? Kamu seperti seorang muslim,” tanya lelaki Sinegal itu. Davis tersentak, selama ini ini tidak pernah ada orang yang mengiranya seorang muslim, dan malam tadi ia baru saja membeli Al-Quran. Davis menjawab bahwa ia bukan seorang muslim, tapi semalam ia baru saja membeli Al-Quran.
Mendengar jawaban Davis, lelaki Sinegal
itu keluar dari toko kecilnya dan memeluk Davis dan terus-terus berkata
bahwa ia bahagia mendengarnya dan itu merupakan pertanda dari Allah
untuk Davis. Nama lelaki Sinegal itu adalah Khadim.
Khadim sempat minta tolong Davis untuk
menunggui tokonya, sementara ia berwudu dan menunaikan salat. Pada
Davis, Khadim mengatakan bahwa sebagai muslim, ia berkewajiban salat lima waktu sehari. Begitu Davis menyatakan ia bersedia membantu, Khadim menunjukkan kotak tempat penyimpanan uang, memberitahu harga barang-barangnya pada Davis, lalu pergi salat.
Sekitar setengah jam Davis menjaga toko
Khadim. Selama menunggu, Davis tak henti berpikir, “Siapa laki-laki
ini, meninggalkan uangnya pada saya. Bisa saja saya kabur dan membawa
uangnya dan ia tidak akan bisa menangkap saya.” Davis heran, mengapa
Khadim tidak mengkhawatirkan kemungkinan itu, mempercayakan uangnya
pada orang asing.
Khadil kembali dari salat dan Davis
melihat wajah Khadim seperti bersinar. Ia memeluk Davis dan mengucapkan
terima kasih. Davis kemudian pamit dan menuju kampus. Sesampainya di
kampus, Davis lagi-lagi terhenyak ketika seorang mahasiswa asal
Pakistan menyapanya dan mengucapkan salam, lalu bertanya pada Davis
“Apakah kamu seorang Muslim?”. Ini adalah pertanyaan kedua dalam satu hari yang ditujukan pada Davis.
Davis menjawab bahwa ia bukan muslim dan
balik bertanya mengapa mahasiswa Pakistan itu menanyakan hal itu.
Mahasiswa Pakistan itu hanya berkata, “Saya tidak tahu, Anda
kelihatannya seperti seorang muslim.” Kejadian ini membuat Davis
bertanya-tanya dalam hati. Davis mengatakan pada mahasiswa Pakistan
tadi bahwa ia sekarang sedang membaca-baca Al-Quran. Si mahasiswa
Paksitan sangat senang mendengar apa yang dikatakan Davis dan
menanyakan apakah Davis pernah ke masjid. Davis terus terang bahw ia
belum pernah ke masjid dan ia menerima ajakan mahasiswa Pakistan itu
untuk pergi ke masjid keesokan harinya. Mereka pun saling bertukar
nomor telepon. Davis makin penasaran.
Hari Jumat sore, mahasiswa Pakistan itu
datang dan mengajak Davis ke rumahnya. Davis dijamu makan, duduk di
lantai. Meski seumur hidupnya ia belum pernah duduk di lantai untuk
makan, Davis merasa tidak canggung sama sekali. Setelah makan, mereka
berangkat ke masjid milik Muslim Community Association di Santa
Barbara, California.
Sesampainya di masjid, Davis disambut
sekitar 40 jamaah masjid dengan senyum dan jabatan tangan. Davis diajak
duduk bersama, membentuk lingkaran kecil. Seorang lelaki menanyakan
apakah Davis tahu tentang Islam. Davis pun menceritakan bagaimana ia
sampai membeli Al-Quran dan mulai membaca isinya. Davis ditanya lagi,
apakah ia percaya pada Nabi Muhammad, tanpa ragu Davis menjawab “Ya”.
Pertanyaan lainnya, apakah Davis percaya bahwa Yesus adalah anak Tuhan,
Davis menjawab “Tidak”, tapi percaya bahwa Yesus adalah seorang nabi.
Masih banyak pertanyaan lainnya yang diajukan ke Davis, mulai dari
apakah ia percaya malaikat, ayat suci Al-Quran dan hari Kiamat, dan
Davis menjawab bahwa ia meyakini semuanya.
Lelaki yang bertanya itu lalu
mengatakan, “Itulah yang diyakini kaum Muslimin, jadi kamu (Davis)
meyakini hal yang sama pula. Apakah suatu saat kamu mau menjadi seorang
muslim?” tanyanya. Lagi-lagi, tanpa ragu Davis menjawab “Ya”.
Bersyahadat
Lelaki itulah yang akhirnya membantunya mengucapkan dua kalimat syahadat di hari ke-17 bulan Ramadan tahun 1996.
Enam bulan setelah masuk Islam, Usama
Canon menghubungi Davis dan menanyakan tentang Islam. Keduanya pergi
makan malam dan membahas soal agama. Keesokan harinya, Davis mengajak
Canon ke masjid dan Canon pun mengucapkan syahadat. Canon, orang
pertama yang menyebut-nyebut Islam pada Davis dan sebuah kehormatan
bagi Davis hari itu mengajak Canon ke masjid dan Canon masuk Islam
juga.
“Bukan ilmu teologi atau perdebatan
agama yang membawa saya pada agama Islam. Tapi musik, budaya, teman
yang yang saya percaya dan seorang asing yang tersenyum pada saya. Yang
ironis, budaya Arab-lah yang pertama kali membuat saya enggan mencari
tahu soal Islam. Tapi sekarang, setelah menjadi muslim, saya berusaha
meninggalkan budaya saya sendiri (budaya Amerika) dan mencoba
menerapkan budaya Arab. Setelah beberapa tahun, saya bisa kembali pada
akar budaya saya sebagai orang Amerika sekaligus sebagai seorang
Muslim,” papar Davis.
Davis sekarang tinggal di San Francisco
Bay Area. Ia berprofesi sebagai fotografer dan sutradara. Belum lama
ini, saat berjalan-jalan bersama Canon, Davis bertemu Khadim lagi.
Mereka sangat bahagia dan berfoto bersama. “Segala puji bagi Allah atas
rahmatnya pada Islam,” doa Davis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar