Islam
selalu dihujat, difitnah, dituding sebagai teroris demikianlah musuh
Islam selalu berusaha memojokan dan mendiskriditkan Islam agar ditolak
diseluruh dunia. Namun para musuh Islam terperangah, Islam tetap tumbuh
dengan pesat, usaha mereka sia –sia. Terlebih lagi setelah tragedi 11
September 2001, Amerika menuduh teroris Islam sebagai pelakunya. Dunia
terkejut, apa betul Islam demikian buruk, mengajarkan umatnya melakukan
tindakan teroris yang brutal. Masyarakat Amerika heran apa betul Islam
demikian brutal? Mereka ingin tahu, mereka mulai memburu Al-Qur’an dan
buku-buku tentang Islam. Alih-alih membenci Islam, sebaliknya setelah
mempelajari Al-Qur’an dan Islam mereka justru menemukan ajaran
kedamaian. Mereka menemukan kesejukan dalam Islam dan al-Qur’an.
Akibatnya banyak masyarakat Amerika yang tertarik untuk masuk Islam…
sungguh menakjubkan. Benarlah firman Allah dalam surat As-Shaf ayat 8:

(Pikiran Rakyat, 6 Maret 2008)
Amerika Negeri Islami?
Oleh Akhmad Kusaeni
Jakarta (ANTARA News) - Indonesia harus bangga memiliki Syamsi Ali, imam asal Bulukumba yang menjadi jurubicara Muslim di Amerika Serikat. Ia adalah penyiar Islam di negara adidaya yang sekarang sedang berperang melawan terorisme, yang celakanya sering dikait-kaitkan dengan Islam.
Syiar Islam dan dakwah Ustadz Syamsi Ali (40), tidak terbatas kepada jemaah warga Indonesia saja, melainkan juga Muslim Amerika. Khususnya di New York dan Washington DC.
Selain sebagai imam pada Islamic Center, masjid terbesar di New York, Syamsi Ali juga dipercaya menjadi Direktur Jamaica Muslim Center, sebuah yayasan dan masjid di kawasan timur New York yang dikelola komunitas Muslim asal Asia Selatan, seperti Bangladesh, Pakistan dan India.
Syamsi berasal dari sebuah desa kecil di Sulawesi Selatan. Kepintarannya berdakwah sudah tampak sejak menjadi santri di pondok pesantren Bulukumba. Ia pergi ke Arab Saudi untuk memperdalam ilmu agama dan ke Pakistan untuk belajar ilmu dunia, sebelum menjadi lokal staf di Perwakilan Tetap RI di New York. Ia mengharumkan citra Islam Indonesia yang moderat dengan pandangan dan aktivitasnya di berbagai forum internasional.
Misalnya saja ia pernah tampil berdakwah di mimbar “A Prayer for America” di Stadion Yankee, kota New York, 23 September 2004. Sekitar 50 ribu orang memadati stadion itu. Tua-muda, lelaki dan perempuan, kulit putih dan kulit hitam, dan pelbagai ras dan bangsa di Amerika “tumplek blek” di situ.
Di panggung, hadir ratu acara bincang-bincang televisi Oprah Winfrey, mantan Presiden Bill Clinton, senator Hillary Clinton, Gubernur Negara Bagian New York George Pataki, Wali Kota New York Rudolph Giuliani, artis Bette Midler dan penyanyi country Lee Greenwood. Di New York, statistik menunjukkan terdapat lebih 800.000 kaum Muslimin.
Di podium, Syamsi membacakan dan mengupas surat Al-Hujurat ayat 13 yang intinya bercerita tentang asal-usul manusia yang dijadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Tidak ada bangsa yang paling tinggi derajatnya, karena yang termulia adalah yang paling bertakwa.
Dengan mengurai makna ayat itu, Syamsi ingin menceritakan kepada publik Amerika bahwa Islam adalah agama yang mengakui persaudaraan umat manusia.
“Islam tak membenci umat lain. Justru Islam datang untuk mengangkat derajat semua manusia,” kata Syamsi Ali, berusaha mengurangi kebencian sebagian warga Amerika terhadap Islam pasca serangan teroris 11 September 2001.
Sejak peristiwa itu, semakin banyak orang di Amerika Serikat yang ingin tahu lebih mendalam mengenai Islam. “Inilah tugas kami untuk memberi penjelasan sebenarnya tentang Islam yang rahmatan lil alamin,” katanya.
Amerika negara Islami?
Ustadz Ali juga punya kebiasaan menulis kegiatan dakwahnya di “mailinng list”.
Tanggal 22 Oktober lalu, misalnya, ia berkisah tentang pengalamannya menjadi pembicara bersama Rabbi Marc Shneier dari East New York Synagogue dalam acara “Dialog Muslim-Yahudi: Tantangan dan Peluang Hubungan di Masa Depan”. Acara yang dihadiri lebih dari 400-an mahasiswa dan professor Universitas New York (NYU) itu, menurut Syamsi Ali, berjalan hangat dan seru.
Moderator diskusi, Joel Cohen, mantan jaksa dan penulis buku “Moses and Jesus in Dialogue” bertanya mengenai bagaimana Syamsi Ali menyikapi jika suatu ketika ada Muslim, yang dalam bahasa Cohen “a Mullah”, ingin mendirikan negara Islam di Amerika.
Jawaban Syamsi Ali mengejutkan peserta. Banyak di antara mereka geleng-geleng kepala. Syamsi menegaskan bahwa “syariat phobia” yang masih menggeluti kebanyakan warga Amerika seharusnya dikurangi.
“Amerika, dalam banyak hal lebih pantas untuk dikatakan negara Islam ketimbang banyak negara yang diakui sebagai negara Islam saat ini,” ujar Syamsi Ali.
Amerika, katanya, telah lebih banyak menegakkan syariat Islam ketimbang negara-negara yang mengaku mengusung syariat. Untuk itu, seorang Muslim yang paham tentang konsep masyarakat dalam Islam, tidak akan pernah mempermasalahkan itu lagi. Sebaliknya, non-Muslim juga seharusnya tidak perlu “over worried” mengenai hal tersebut.
Dalam pandangan Syamsi Ali, syariat adalah landasan hidup seorang Muslim. Berislam tanpa bersyariat adalah sesuatu yang mustahil. Hukum-hukum yang mengatur kehidupan seorang Muslim, mulai dari masalah-masalah keimanan, ritual, hingga kepada masalah-masalah mu`amalat (hubungan antar makhluk) masuk dalam kategori syariah. Untuk itu, memutuskan hubungan antara kehidupan seorang Muslim dengan syariat sama dengan memisahkan antara daging dan darahnya.
Amerika yang didirikan di atas asas kebebasan, kesetaraan dan keadilan untuk semua, sesungguhnya didirikan di atas asas nilai-nilai dasar Islam. Islam juga didasarkan kepada nilai-nilai kebebasan (al-hurriyah), keadilan (al `adaalah) dan persamaan (al musawah).
Atas dasar itu, Syamsi Ali dengan keyakinan penuh menegaskan bahwa kehadiran Islam di Amerika adalah ibarat benih subur yang terjatuh di atas lahan yang subur. Dia akan tumbuh dengan baik dan subur karena memang lahan yang ditempatinya sesuai dengan kebutuhan benih tanaman ini.
Kelak, lanjut Syamsi, tanaman ini pasti akan dirasakan karena memang manusia yang mendiaminya telah lama marasakan kehausan untuk itu.
Di mana-mana dan dalam acara apapun, seperti dikemukakan sesepuh warga Indonesia di New York Achyar Hanif, Syamsi Ali selalu mengatakan kehadiran umat Islam di Amerika itu tidak perlu dikhawatirkan, tapi sebaliknya harus disyukuri. Umat Islam akan memberikan sumbangsih yang besar untuk menampakkan ke seluruh penjuru dunia bahwa tanah Amerika memang subur untuk menanamkan nilai-nilai Syaria`h yang universal itu.
“Amerika bukan musuh, tapi Amerika adalah lahan subur untuk Islam. Inilah pesan yang selalu disampaikan Ustadz Syamsi dalam berbegai kesempatan,” kata Achyar Hanif yang tahun ini kembali berangkat haji dari kota New York.
Pada 5 Nopember 2007 lalu, Syamsi Ali juga tampil dalam acara talk show televisi “Face to Face, Faith to Faith”. Acara yang dimoderatori oleh Ketie Couric, pembawa acara televisi AS yang masyhur itu, menampilkan tiga panelis, Rabbi Rubin Stein, Senior Rabbi pada Central Synagogue, Rev. Michael Lindvall, Senior Pastor The Brick Church dan Syamsi Ali.
Lebih 500 tamu yang hadir memenuhi ruangan Gotham building di Broadway yang terkenal rela membayar mahal. Meja utama dijual dengan harga 50.000 dolar AS per meja dengan kapasitas delapan orang.
Ketie Couric sebelum memulai acara dialogu malam itu mengatakan dirinya sudah mempelajari semua agama, seperti Kristen, Yahudi dan Islam. Makin dalam ia mempelajari agama-agama itu, makin dalam pula penyesalan dirinya karena telah salah persepsi terhadap agama, khususnya Islam. Mulai saat itu, Ketie bersumpah untuk lebih menghargai dan menghormati Islam dan kaum Muslimin.
Syamsi sendiri mengaku acara itu sangat membanggakannya. Selain karena pujian terhadap agama Islam begitu besar di saat media kurang bersahabat dan masih luasnya salah paham terhadapnya, juga karena Ia telah menyampaikan agama ini secara lugas dan apa adanya.
Banyak di antara warga AS yang pernah mendengarkan syiar Islam Syamsi Ali berkunjung ke Islamic Center yang dipimpinnya. Sebagian ingin mempelajari lebih dalam lagi masalah Islam, sebagian lagi malah langsung ingin di-Islam-kan. (*)
(Sumber Antara.com )
Da’i asal Indonesia spesialis narapidana di Washington, Ustad Muhammad Awod Joban
Sumber: Majalah Suara Hidayatullah (http://www.hidayatullah.com)
Islam Bangkit Juga di Penjara-penjara Amerika Dihitung-hitung, sudah hampir 12 tahun Muhammad Awod Joban bergaul erat dengan para narapidana di berbagai penjara negara bagian Washington, Amerika Serikat. Dua belas tahun! Subhaanallaah.
Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan. (An Nahl 93)
Mereka
ingin hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut
(ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya
meskipun orang-orang kafir benci. ( As-Shaf 8 )


Usaha
musuh Islam untuk memojokan Islam dengan menuduh sebagai pelaku teroris
yang menghancurkan gedung WTC tidak mampu memojokan Islam, sebaliknya
peristiwa tersebut malah menambah simpati terhadap Islam. Jumlah pemeluk
Islam di Amerika meningkat pesat setelah tragedi WTC. Berikut ini kami
sampaikan beberapa tulisan tentang perkembangan Islam di Amerika setelah
tragedi 11 September 2001 yang kami kutip dari berbagai sumber, mudah
mudahan bisa menambah wawasan kita.
Islam di Amerika: Keajaiban Bernama 9/11
Moeflich Hasbullah(Pikiran Rakyat, 6 Maret 2008)
Sejumlah data yang dikomposisikan oleh Demented Vision
(2007), dari sebuah observasi di Amerika Serikat tentang perkembangan
jumlah pemeluk agama-agama dunia menarik untuk dicermati. Dari data
observasi itu, terdapat angka-angka yang menunjukkan perbandingan
pertumbuhan penganut Islam dan Kristen di dunia. Lembaga itu mencatat,
pada tahun 1900, jumlah pemeluk Kristen adalah 26,9% dari total penduduk
dunia, sementara pemeluk Islam hanya 12,4%. 80 tahun kemudian (1980),
angka itu berubah. Penganut Kristen bertambah 3,1% menjadi 30%, dan
Muslim bertambah 4,1% menjadi 16,5% dari seluruh penduduk bumi. Pada
pergantian milenium kedua, yaitu 20 tahun kemudian (2000), jumlah itu
berubah lagi tapi terjadi perbedaan yang menarik. Kristen menurun 0,1%
menjadi 29,9% dan Muslim naik lagi menjadi 19,2%. Pada tahun 2025,
angka itu diproyeksikan akan berubah menjadi: penduduk Kristen 25%
(turun 4,9%) dan Muslim akan menjadi 30% (naik pesat 10,8%) mengejar
jumlah penganut Kristen
Bila diambil rata-rata, Islam bertambah
pemeluknya 2,9% pertahun. Pertumbuhan ini lebih cepat dibandingkan
dengan pertumbuhan jumlah penduduk bumi sendiri yang hanya 2,3%
pertahun. 17 tahun lagi dari sekarang, bila pertumbuhan Islam itu
konstan, dari angka kelahiran dan yang masuk Islam di berbagai negara,
berarti prediksi itu benar, Islam akan menjadi agama nomor satu
terbanyak pemeluknya di dunia, menggeser Kristen menjadi kedua. World Almanac and Book of Fact,
#1 New York Times Bestseller, mencatat jumlah total umat Islam sedunia tahun 2004 adalah 1,2 milyar lebih (1.226.403.000), tahun 2007 sudah mencapai 1,5 milyar lebih (1.522.813.123 jiwa). Ini berarti, dalam 3 tahun, kaum Muslim mengalami penambahan jumlah sekitar 300 juta orang (sama dengan jumlah umat Islam yang ada di kawasan Asia Tenggara).
#1 New York Times Bestseller, mencatat jumlah total umat Islam sedunia tahun 2004 adalah 1,2 milyar lebih (1.226.403.000), tahun 2007 sudah mencapai 1,5 milyar lebih (1.522.813.123 jiwa). Ini berarti, dalam 3 tahun, kaum Muslim mengalami penambahan jumlah sekitar 300 juta orang (sama dengan jumlah umat Islam yang ada di kawasan Asia Tenggara).
Fenomena di Amerika sendiri sangat
menarik. Sangat tidak masuk di akal pemerintah George Bush dan
tokoh-tokoh Amerika, masyarakat Amerika berbondong-bondong masuk Islam
justru setelah peristiwa pemboman World Trade Center pada 11 September
2001 yang dikenal dengan 9/11 yang sangat memburukkan citra Islam itu.
Pasca 9/11 adalah era pertumbuhan Islam paling cepat yang tidak pernah
ada presedennya dalam sejarah Amerika. 8 juta orang Muslim yang kini ada
di Amerika dan 20.000 orang Amerika masuk Islam setiap tahun setelah
pemboman itu. Pernyataan syahadat masuk Islam terus terjadi di kota-kota
Amerika seperti New York, Los Angeles, California, Chicago, Dallas,
Texas dan yang lainnya.
Atas fakta inilah, ditambah gelombang
masuk Islam di luar Amerika, seperti di Eropa dan beberapa negara lain,
beberapa tokoh Amerika menyatakan kesimpulannya. The Population
Reference Bureau USA Today sendiri menyimpulkan: “Moslems are the world
fastest growing group.” Hillary Rodham Cinton, istri mantan Presiden
Clinton seperti dikutip oleh Los Angeles Times mengatakan, “Islam is the
fastest growing religion in America.” Kemudian, Geraldine Baum
mengungkapkan: “Islam is the fastest growing religion in the country”
(Newsday Religion Writer, Newsday). “Islam is the fastest growing
religion in the United States,” kata Ari L. Goldman seperti dikutip New
York Times. Atas daya magnit Islam inilah, pada 19 April 2007, digelar
sebuah konferensi di Middlebury College, Middlebury Vt. untuk
mengantisipasi masa depan Islam di Amerika dengan tajuk “Is Islam a
Trully American religion?” menampilkan Prof. Jane Smith yang banyak
menulis buku-buku tentang Islam di Amerika. Konferensi itu sendiri
merupakan seri kuliah tentang Immigrant and Religion in America. Dari
konferensi itu, jelas tergambar bagaimana keterbukaan masyarakat Amerika
menerima sebuah gelombang baru yang tak terelakkan yaitu Islam yang
akan menjadi identitas dominan di negara super power itu.
Anomali 9/11
Peristiwa 9/11 menyimpan misteri yang
tidak terduga. Pemboman itu dikutuk dunia, terlebih Amerika, sebagai
biadab dan barbar buah tangan para “teroris Islam.” Setelah peristiwa
itu, kaum Muslimin di Amerika terutama imigran asal Timur Tengah
merasakan getahnya mengalami kondisi psiokologis yang sangat berat:
dicurigai, diteror, diserang, dilecehkan dan diasosiasikan dengan
teroris. Hal yang sama dialami oleh kaum Muslim di Inggris, Perancis,
Jerman dan negara-negara Eropa lainnya. Pemerintah George Walker Bush
segera mengetatkan aturan imigrasi dan mengawasi kaum imigran Muslim
secara berlebihan. Siaran televisi Fox News Channel, dalam acara
mingguan “In Focus” menggelar diskusi dengan mengundang enam orang nara
sumber, bertemakan “Stop All Muslim Immigration to Protect America and
Economy.” Acara ini menggambarkan kekhawatiran Amerika tidak hanya dalam
masalah terorisme tetapi juga ekonomi dimana pengaruh para pengusaha
Arab dan Timur Tengah mulai dominan dan mengendalikan ekonomi Amerika.
Tapi, rupanya Islam berkembang dengan caranya sendiri. Islam mematahkan
“logika akal sehat” manusia modern. Bagaimana mungkin sekelompok orang
nekat berbuat biadab membunuh banyak orang tidak berdosa dengan
mengatasnamakan agama, tetapi tidak lama setelah peristiwa itu, justru
ribuan orang berbondong-bondong menyatakan diri masuk agama tersebut dan
menemukan kedamaian didalamnya? 9/11 telah berfungsi menjadi ikon yang
memproduksi arus sejarah yang tidak logis dan mengherankan. Selain
20.000 orang Amerika masuk Islam setiap tahun setelah peristiwa itu,
ribuan yang lain dari negara-negara non Amerika (Eropa, Cina, Korea,
Jepang dst) juga mengambil keputusan yang sama masuk Islam. Bagaimana
arus ini bisa dijelaskan? Sejauh saya ketahui, jawabannya “tidak ada”
dalam teori-teori gerakan sosial karena fenomena ini sebuah anomali.
Maka, gejala ini hanya bisa dijelaskan oleh “teori tangan Tuhan.”
Tangan Tuhan dalam bentuk blessing in disguise
adalah nyata dibalik peristiwa 9/11 dan ini diakui oleh masyarakat
Islam Amerika. Karena peristiwa 9/11 yang sangat mengerikan itu
dituduhkan kepada Islam, berbagai lapisan masyarakat Amerika justru
kemudian terundang kuriositasnya untuk mengetahui Islam lebih jauh.
Sebagian karena murni semata-mata ingin mengetahui saja, sebagian lagi
mempelajari dengan sebuah pertanyaan dibenaknya: “bagaimana mungkin
dalam zaman modern dan beradab ini agama “mengajarkan” teror, kekerasan
dan suicide bombing dengan ratusan korban tidak berdosa?” Tapi keduanya
berbasis pada hal yang sama: ignorance of Islam (ketidaktahuan sama
sekali tentang Islam). Sebelumnya, sumber pengetahuan masyarakat Barat
(Amerika dan Eropa) tentang Islam hanya satu yaitu media yang
menggambarkan Islam tidak lain kecuali stereotip-stereotip buruk seperti
teroris, uncivilized, kejam terhadap perempuan dan sejenisnya. Seperti
disaksikan Eric, seorang Muslim pemain cricket warga Texas, setelah
peristiwa 9/11, masyarakat Amerika menjadi ingin tahu Islam, mereka
kemudian ramai-ramai membeli dan membaca Al-Qur’an setiap hari, membaca
biografi Muhammad dan buku-buku Islam untuk mengetahui isinya. Hasilnya,
dari membaca sumbernya langsung, mereka menjadi tahu ajaran Islam yang
sesungguhnya. Ketimbang bertambahnya kebencian, yang terjadi malah
sebaliknya. Menemukan keagungan serta keindahan ajaran agama yang satu
ini. Keagungan ajaran Islam ini bertemu pada saatnya yang tepat dengan
kegersangan, kegelisahan dan kekeringan spritual masyarakat Amerika yang
sekuler selama ini. Karena itu, Islam justru menjadi jawaban bagi
proses pencarian spiritual mereka selama ini. Islam menjadi melting
point atas kebekuan spiritual yang selama ini dialami masyarakat
Amerika. Inilah pemicu terjadinya Islamisasi Amerika yang mengherankan
para pengamat sosial dan politik. Inilah tangan Tuhan dibalik peristiwa
/9/11.
Motivasi Menjadi Muslim
Dari banyak wawancara yang dilakukan
televisi Amerika, Eropa maupun Timur Tengah terhadap mereka yang masuk
Islam atau video-video blog yang banyak menjelaskan motivasi para new converters ini masuk Islam, menggambarkan konfigurasi latar belakang yang beragam.
Pertama, karena kehidupan
mereka yang sebelumnya sekuler, tidak terarah, tidak punya tujuan, hidup
hanya money, music and fun. Pola hidup itu menciptakan kegersangan dan
kegelisahan jiwa. Mereka merasakan kekacauan hidup, tidak seperti pada
orang-orang Muslim yang mereka kenal. Dalam hingar bingar dunia modern
dan fasilitas materi yang melimpah banyak dari mereka yang merasakan
kehampaan dan ketidakbahagiaan. Ketika menemukan Islam dari membaca
Al-Qur’an, dari buku atau kehidupan teman Muslimnya yang sehari-harinya
taat beragama, dengan mudah saja mereka masuk Islam.
Kedua, merasakan ketenangan,
kedamaian dan kebahagiaan yang tidak pernah dirasakannya dalam agama
sebelumnya yaitu Kristen. Dalam Islam mereka merasakan hubungan dengan
Tuhan itu langsung dan dekat. Beberapa orang Kristen taat bahkan mereka
sebagai church priest mengaku seperti itu ketika diwawancarai televisi.
Allison dari North Caroline dan Barbara Cartabuka, seorang diantara 6,5
juta orang Amerika yang masuk Islam pasca 9/11, seperti diberitakan oleh
Veronica De La Cruz dalam CNN Headline News, Allison mengaku “Islam is
much more about peace.” Sedangkan Barbara tidak pernah merasakan
kedamaian selama menganut Katolik Roma seperti kini dirasakannya setelah
menjadi Muslim. Demikian juga yang dirasakan oleh Mr. Idris Taufik,
mantan pendeta Katolik di London, ketika diwawancara televisi Al-Jazira.
Mantan pendeta ini melihat dan merasakan ketenangan batin dalam Islam
yang tidak pernah dirasakan sebelumnya ketika ia menjadi mendeta di
London. Ia masuk Islam setelah melancong ke Mesir. Ia kaget melihat
orang-orang Islam tidak seperti yang diberitakan di televisi-televisi
Barat. Ia mengaku, sebelumnya hanya mengetahui Islam dari media. Ia
sering meneteskan air mata ketika menyaksikan kaum Muslim shalat dan
kini ia merasakan kebahagiaan setelah menjadi Muslim di London.
Ketiga, menemukan kebenaran
yang dicarinya. Beberapa konverter mengakui konsep-konsep ajaran Islam
lebih rasional atau lebih masuk akal seperti tentang keesaan Tuhan,
kemurnian kitab suci, kebangkitan (resurrection) dan penghapusan dosa
(salvation) ketimbang dalam Kristen. Banyak dari masyarakat Amerika
memandang Kristen sebagai agama yang konservatif dalam
doktrin-doktrinnya. Eric seorang pemain Cricket di Texas, kota kelahiran
George Bush, berkesimpulan seperti itu dan memilih Islam. Sebagai
pemain cricket Muslim, ia sering shalat di pinggir lapang. Di Kristen,
katanya, sembahyang harus selalu ge Gereja. Seorang konverter lain
memberikan kesaksiannya yang bangga menjadi Muslim. Ia menjelaskan telah
berpuluh tahun menganut Katolik Roma dan Kristen Evangelik. Dia mengaku
menemukan kelemahan-kelemahan doktrin Kristen setelah menyaksikan debat
terbuka tentang “apakah Yesus itu Tuhan?” antara Ahmad Deedat, seorang
tokoh Islam dari Afrika Selatan dan seorang teolog Kristen.
Argumen-argumen Dedaat dalam diskusi menurutnya jauh lebih jelas, kuat
dan memuaskan ketimbang teolog Kristen itu. Menariknya, misi awalnya ia
menonton debat agama itu justru untuk mengetahui Islam karena ia
bertekad akan menyebarkan gospel ke masyarakat-masyarakat Muslim. Yang
terjadi sebaliknya, ia malah menemukan keunggulan doktrin Islam dalam
berbagai aspeknya dibandingkan Kristen. Angela Collin, seorang artis
California yang terkenal karena filmnya Leguna Beach dan kini menjadi
Director of Islamic School, ketika diwawancarai oleh televisi NBC News
megapa ia masuk Islam, ia mengungkapkan: “I was seeking the truth and
I’ve found it in Islam. Now I have this belief and I love this belief,”
katanya bangga.
Keempat, banyak kaum perempuan
Amerika Muslim berkesimpulan ternyata Islam sangat melindungi dan
menghargai perempuan. Dengan kata lain, perempuan dalam Islam dimuliakan
dan posisinya sangat dihormati. Walaupun mereka tidak setuju dengan
poligami, mereka melihat posisi perempuan sangat dihormati dalam Islam
daripada dalam peradaban Barat modern. Seorang convert perempuan Amerika
bernama Tania, merasa hidupnya kacau dan tidak terarah jutsru dalam
kebebasannya di Amerika. Ia bisa melakukan apa saja yang dia mau untuk
kesenangan, tapi ia rasakan malah merugikan dan merendahkan perempuan.
Setelah mempelajari Islam, awalnya merasa minder setelah tahu bagaimana
Islam memperlakukan perempuan. “Women in Islam is so honored. This is a
nice religion not for people like me!” katanya. Dia masuk Islam setelah
mempelajarinya beberapa bulan dari teman Muslimnya.
Perkembangan Islam di dunia Barat
sesungguhnya lebih prospektif karena mereka terbiasa berfikir terbuka.
Dalam keluarga Amerika, pemilihan agama dilakukan secara bebas dan
independen. Banyak orang tua mendukung anaknya menjadi Muslim selama itu
adalah pilihan bebasnya dan independen. Mereka mudah saja masuk Islam
ketika menemukan kebenaran disitu. Angela Collin, seorang artis di
California yang terkenal karena filmnya Leguna Beach menjadi
Muslim dengan dukungan orang tua. Ketika diwawancarai televisi NBC,
orang tuanya justru merasa bangga karena Angela adalah seorang
“independent person.” Nancy seorang remaja 15 tahun, masuk Islam setelah
bergaul dekat temannya keluarga Pakistan dan keluarganya tidak
mempermasalahkan walaupun telah lama hidup dalam tradisi Kristen.
Dampak Hubungan Islam – Barat
Perkembangan ini tentu akan berpengaruh
signifikan terhadap hubungan Islam-Barat (Kristen) yang sudah mengalami
ketegangan historis berabad-abad. Dengan pesatnya perkembangan umat
Muslim di Amerika, Eropa dan negara-negara maju lainnya, akan
berpengaruh signifikan terhadap beberapa hal. Pertama, masyarakat Barat
akan lebih dekat dan lebih kenal dengan Islam melalui umat Islam yang
ada di Barat sendiri. Mereka akan menjembati kesalahafahaman yang selalu
terjadi terhadap Islam dan kaum Muslimin. Ketidaksukaan masyarakat
Barat terhadap Islam lebih karena the ignorance of Islam dan
ini akan semakin berkurang. Umat Islam di Barat akan menjadi komunikator
yang efektif dan duta-duta yang handal untuk menjelaskan dan
memperlihatkan wajah Islam yang sesungguhnya di sana. Melalui mereka,
nasib umat Islam diluar Barat akan disuarakan dan penderitaan demi
penderitaan negara-negara Muslim akibat dominasi Barat yang kebijakannya
sering yang tidak adil akan berkurang. Kedua, akibat dari ajaran Islam
yang semakin tersosialisasi di Barat dan suara politik kaum Muslimin
semakin kuat, jembatan untuk terciptanya saling pemahaman dan pengertian
akan semakin kondusif dan menguat. Islam dan Barat mudah-mudahan akan
masuk ke dalam sebuah babak baru sejarah yang lebih adil, lebih fair dan
lebih demokratis. Wallahu a’alam!!
Penulis, Alumni Southeast Asian Studies, ANU Canberra.
(Sumber Moeflich.Wordpress.Com)
Amerika Negeri Islami?
Oleh Akhmad KusaeniJakarta (ANTARA News) - Indonesia harus bangga memiliki Syamsi Ali, imam asal Bulukumba yang menjadi jurubicara Muslim di Amerika Serikat. Ia adalah penyiar Islam di negara adidaya yang sekarang sedang berperang melawan terorisme, yang celakanya sering dikait-kaitkan dengan Islam.
Syiar Islam dan dakwah Ustadz Syamsi Ali (40), tidak terbatas kepada jemaah warga Indonesia saja, melainkan juga Muslim Amerika. Khususnya di New York dan Washington DC.
Selain sebagai imam pada Islamic Center, masjid terbesar di New York, Syamsi Ali juga dipercaya menjadi Direktur Jamaica Muslim Center, sebuah yayasan dan masjid di kawasan timur New York yang dikelola komunitas Muslim asal Asia Selatan, seperti Bangladesh, Pakistan dan India.
Syamsi berasal dari sebuah desa kecil di Sulawesi Selatan. Kepintarannya berdakwah sudah tampak sejak menjadi santri di pondok pesantren Bulukumba. Ia pergi ke Arab Saudi untuk memperdalam ilmu agama dan ke Pakistan untuk belajar ilmu dunia, sebelum menjadi lokal staf di Perwakilan Tetap RI di New York. Ia mengharumkan citra Islam Indonesia yang moderat dengan pandangan dan aktivitasnya di berbagai forum internasional.
Misalnya saja ia pernah tampil berdakwah di mimbar “A Prayer for America” di Stadion Yankee, kota New York, 23 September 2004. Sekitar 50 ribu orang memadati stadion itu. Tua-muda, lelaki dan perempuan, kulit putih dan kulit hitam, dan pelbagai ras dan bangsa di Amerika “tumplek blek” di situ.
Di panggung, hadir ratu acara bincang-bincang televisi Oprah Winfrey, mantan Presiden Bill Clinton, senator Hillary Clinton, Gubernur Negara Bagian New York George Pataki, Wali Kota New York Rudolph Giuliani, artis Bette Midler dan penyanyi country Lee Greenwood. Di New York, statistik menunjukkan terdapat lebih 800.000 kaum Muslimin.
Di podium, Syamsi membacakan dan mengupas surat Al-Hujurat ayat 13 yang intinya bercerita tentang asal-usul manusia yang dijadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Tidak ada bangsa yang paling tinggi derajatnya, karena yang termulia adalah yang paling bertakwa.
Dengan mengurai makna ayat itu, Syamsi ingin menceritakan kepada publik Amerika bahwa Islam adalah agama yang mengakui persaudaraan umat manusia.
“Islam tak membenci umat lain. Justru Islam datang untuk mengangkat derajat semua manusia,” kata Syamsi Ali, berusaha mengurangi kebencian sebagian warga Amerika terhadap Islam pasca serangan teroris 11 September 2001.
Sejak peristiwa itu, semakin banyak orang di Amerika Serikat yang ingin tahu lebih mendalam mengenai Islam. “Inilah tugas kami untuk memberi penjelasan sebenarnya tentang Islam yang rahmatan lil alamin,” katanya.
Amerika negara Islami?
Ustadz Ali juga punya kebiasaan menulis kegiatan dakwahnya di “mailinng list”.
Tanggal 22 Oktober lalu, misalnya, ia berkisah tentang pengalamannya menjadi pembicara bersama Rabbi Marc Shneier dari East New York Synagogue dalam acara “Dialog Muslim-Yahudi: Tantangan dan Peluang Hubungan di Masa Depan”. Acara yang dihadiri lebih dari 400-an mahasiswa dan professor Universitas New York (NYU) itu, menurut Syamsi Ali, berjalan hangat dan seru.
Moderator diskusi, Joel Cohen, mantan jaksa dan penulis buku “Moses and Jesus in Dialogue” bertanya mengenai bagaimana Syamsi Ali menyikapi jika suatu ketika ada Muslim, yang dalam bahasa Cohen “a Mullah”, ingin mendirikan negara Islam di Amerika.
Jawaban Syamsi Ali mengejutkan peserta. Banyak di antara mereka geleng-geleng kepala. Syamsi menegaskan bahwa “syariat phobia” yang masih menggeluti kebanyakan warga Amerika seharusnya dikurangi.
“Amerika, dalam banyak hal lebih pantas untuk dikatakan negara Islam ketimbang banyak negara yang diakui sebagai negara Islam saat ini,” ujar Syamsi Ali.
Amerika, katanya, telah lebih banyak menegakkan syariat Islam ketimbang negara-negara yang mengaku mengusung syariat. Untuk itu, seorang Muslim yang paham tentang konsep masyarakat dalam Islam, tidak akan pernah mempermasalahkan itu lagi. Sebaliknya, non-Muslim juga seharusnya tidak perlu “over worried” mengenai hal tersebut.
Dalam pandangan Syamsi Ali, syariat adalah landasan hidup seorang Muslim. Berislam tanpa bersyariat adalah sesuatu yang mustahil. Hukum-hukum yang mengatur kehidupan seorang Muslim, mulai dari masalah-masalah keimanan, ritual, hingga kepada masalah-masalah mu`amalat (hubungan antar makhluk) masuk dalam kategori syariah. Untuk itu, memutuskan hubungan antara kehidupan seorang Muslim dengan syariat sama dengan memisahkan antara daging dan darahnya.
Amerika yang didirikan di atas asas kebebasan, kesetaraan dan keadilan untuk semua, sesungguhnya didirikan di atas asas nilai-nilai dasar Islam. Islam juga didasarkan kepada nilai-nilai kebebasan (al-hurriyah), keadilan (al `adaalah) dan persamaan (al musawah).
Atas dasar itu, Syamsi Ali dengan keyakinan penuh menegaskan bahwa kehadiran Islam di Amerika adalah ibarat benih subur yang terjatuh di atas lahan yang subur. Dia akan tumbuh dengan baik dan subur karena memang lahan yang ditempatinya sesuai dengan kebutuhan benih tanaman ini.
Kelak, lanjut Syamsi, tanaman ini pasti akan dirasakan karena memang manusia yang mendiaminya telah lama marasakan kehausan untuk itu.
Di mana-mana dan dalam acara apapun, seperti dikemukakan sesepuh warga Indonesia di New York Achyar Hanif, Syamsi Ali selalu mengatakan kehadiran umat Islam di Amerika itu tidak perlu dikhawatirkan, tapi sebaliknya harus disyukuri. Umat Islam akan memberikan sumbangsih yang besar untuk menampakkan ke seluruh penjuru dunia bahwa tanah Amerika memang subur untuk menanamkan nilai-nilai Syaria`h yang universal itu.
“Amerika bukan musuh, tapi Amerika adalah lahan subur untuk Islam. Inilah pesan yang selalu disampaikan Ustadz Syamsi dalam berbegai kesempatan,” kata Achyar Hanif yang tahun ini kembali berangkat haji dari kota New York.
Pada 5 Nopember 2007 lalu, Syamsi Ali juga tampil dalam acara talk show televisi “Face to Face, Faith to Faith”. Acara yang dimoderatori oleh Ketie Couric, pembawa acara televisi AS yang masyhur itu, menampilkan tiga panelis, Rabbi Rubin Stein, Senior Rabbi pada Central Synagogue, Rev. Michael Lindvall, Senior Pastor The Brick Church dan Syamsi Ali.
Lebih 500 tamu yang hadir memenuhi ruangan Gotham building di Broadway yang terkenal rela membayar mahal. Meja utama dijual dengan harga 50.000 dolar AS per meja dengan kapasitas delapan orang.
Ketie Couric sebelum memulai acara dialogu malam itu mengatakan dirinya sudah mempelajari semua agama, seperti Kristen, Yahudi dan Islam. Makin dalam ia mempelajari agama-agama itu, makin dalam pula penyesalan dirinya karena telah salah persepsi terhadap agama, khususnya Islam. Mulai saat itu, Ketie bersumpah untuk lebih menghargai dan menghormati Islam dan kaum Muslimin.
Syamsi sendiri mengaku acara itu sangat membanggakannya. Selain karena pujian terhadap agama Islam begitu besar di saat media kurang bersahabat dan masih luasnya salah paham terhadapnya, juga karena Ia telah menyampaikan agama ini secara lugas dan apa adanya.
Banyak di antara warga AS yang pernah mendengarkan syiar Islam Syamsi Ali berkunjung ke Islamic Center yang dipimpinnya. Sebagian ingin mempelajari lebih dalam lagi masalah Islam, sebagian lagi malah langsung ingin di-Islam-kan. (*)
(Sumber Antara.com )
Da’i asal Indonesia spesialis narapidana di Washington, Ustad Muhammad Awod Joban
Sumber: Majalah Suara Hidayatullah (http://www.hidayatullah.com)
Islam Bangkit Juga di Penjara-penjara Amerika Dihitung-hitung, sudah hampir 12 tahun Muhammad Awod Joban bergaul erat dengan para narapidana di berbagai penjara negara bagian Washington, Amerika Serikat. Dua belas tahun! Subhaanallaah.
Salah satunya merupakan diantara yang
paling angker di seluruh negeri itu, yaitu komplek penjara di pulau
McNeil, dekat kota Olympia. Namanya McNeil Island Corrections Center
(MICC). Mirip dengan penjara Alcatraz di seberang San Fransisco. Segala
jenis penjahat dan gangster sudah pernah dihadapi pria asal Purwakarta,
Jawa Barat ini. Agaknya belasan tahun itu hampir tak terasa lamanya,
karena pekerjaan da’wah kepada para narapidana begitu dia nikmati.
“Sekitar 80% narapidana yang keluar dari penjara akan kembali lagi ke
penjara. Kecuali yang Muslim,” kata lelaki kelahiran 2 Juni 1952 ini.
Bahkan sampai ia menamatkan studi masternya di Universitas Al-Azhar,
Kairo, tahun 1975, pikiran untuk berkonsentrasi di penjara-penjara
Amerika belum terbetik sedikitpun di benaknya. Niat awalnya merantau ke
Amerika sama dengan banyak orang Indonesia lainnya, melanjutkan sekolah.
Selepas dari universitas tertua di Mesir
itu Joban mendapat pekerjaan sebagai penyiar Radio Kairo suara
Indonesia selama lima tahun. “Meski disiarkan di Mesir namun siarannya
didengar juga oleh masyarakat kita Indonesia,” kenang Joban. Saat asyik
siaran radio Joban berjumpa dengan Amien Rais yang sedang melakukan
riset untuk tesisnya tentang Al-Ikhwanul Muslimin. “Pak Amien sempat
tinggal dua tahun di Kairo dan sering ikut pengajian di sana. Di situlah
saya sering ketemu dia. Pak Amien menyarankan saya meneruskan kuliah ke
Universitas Chicago (almamaternya Amien Rais),” kenang suami Moeti
Amrina ini. Atas saran itu, pada tahun 1989 Joban kemudian hijrah ke
Amerika. “Waktu itu saya berencana mengambil PhD di bidang Islamic
Studies di Chicago,” kata Joban. Allah berkehendak lain. Sesampai di
Amerika, Joban tidak bisa langsung kuliah, karena tersandung biaya yang
tinggi. “Sampai di sini saya baru tahu, kalau kita tidak punya greencard
(izin tinggal permanen) maka biaya hidupnya besar.” Meski begitu Joban
tidak buru-buru pulang. “Saya fikir, daripada saya pulang, saya
memutuskan untuk mencari biaya sekaligus menghabiskan visa saya selama
setahun di sini.”
Dalam masa penantian itu, kawan lamanya
di Al-Azhar, seorang Muslim Campa (Kamboja) menyarankan Joban pergi ke
masjid An-Nur, milik jama’ah Campa di kota Olympia, negara bagian
Washington. Masjid itu punya jama’ah tapi tidak punya imam. Alhasil
Joban lantas diangkat sebagai imam di masjid tersebut. Kehadiran Joban
disambut gembira masyarakat Campa, karena telah mengembalikan mereka
kepada Islam. “Sebelumnya mereka sudah lupa mengaji dan lupa macam-macam
ilmu agama. Anaknya sudah dibesarkan dengan cara Amerika,” Joban
mengenang.
Dua tahun kemudian ada pengumuman di
Islamic Center setempat, penjara di negara bagian itu membutuhkan tenaga
chaplain, yakni imam atau pembina ruhani bagi para narapidana (napi).
“Meski di Amerika ini tidak ada departemen agama-karena Amerika negara
sekuler-namun berbagai instansi, pemerintah Amerika hampir selalu
menyediakan tenaga chaplain. Ada Muslim Chaplain, Christian Chaplain,
Catholic Chaplain, dan lain-lain,” jelas Joban. Mula-mula Joban bertugas
di penjara Monroe, yang jaraknya sekitar dua jam perjalanan mobil dari
Olympia. Ia kemudian mendapat tugas pula menjadi pembina ruhani di
sebuah penjara di pulau Mc Neil di dekat Tacoma. Seperti dijelaskan
Joban, penjara in agak mengerikan, “Karena penjara ini terletak di
sebuah pulau-seperti penjara Alcatraz di California yang terkenal itu-
maka penghuninya hampir tak mungkin melarikan diri. Penghuninya kelas
berat semua. Diantaranya pembunuh yang dihukum tiga puluh tahun sampai
empat puluh tahun.” Seperti belum cukup, ia juga mengambil tugas serupa
di penjara transit bernama Shelton Correction Center. “Penjara ini
tempat transit napi dari mana-mana. Ada juga yang tinggal di situ.
Semuanya ada sekitar 3000 napi. Saking banyaknya sel di sana, dari satu
tempat ke tempat yang lain harus lewat terowongan di bawah penjara.”
Karena penjara transit itu, tempat itu justeru subur untuk berda’wah.
Setelah dida’wahi di situ tiga sampai empat bulan, mereka dikirim ke
tempat-tempat lain, lalu digantikan oleh napi lain. Tentu banyak
pengalaman menarik berda’wah di ’sarang’ para gangster Amerika itu.
Misalnya saja, Joban menemukan fenomena menarik bahwa da’wah yang paling
efektif di penjara adalah da’wah yang justru dilakukan oleh para napi
kepada napi lainnya. Kenapa bisa begitu? Jawabannya bisa Anda dapatkan
dalam perbincangan antara Joban dengan Kasman Harun, kontributor majalah
Suara Hidayatullah di Amerika. Perbincangan mereka lakukan di sela-sela
Muktamar Indonesian Muslim Students Association (IMSA) belum lama ini
di Hotel Holiday Inn Columbia, Missouri. Petikan perbincangan keduanya
bisa Anda ikuti di bawah ini. Selamat menikmati.
Bagaimana Anda mengatur jadual da’wah antara penjara dan masyarakat biasa?
Penjara di negara bagian Washington ini
semakin banyak. Kalau harus saya layani semua, takkan ada waktu lagi
untuk masyarakat. Alhamdulillah saya kemudian punya sejumlah asisten
chaplain. Salah seorang di antaranya bernama Amir Abdul Matin. Dia orang
Amerika yang masuk Islam di penjara. Setelah keluar dari penjara, masya
Allah, ia malah lebih hebat. Sekarang ia sudah jadi chaplain di sebuah
penjara perempuan. Asisten lain saya bernama Thohir, orang Kenya. Jadi
sebetulnya perkembangan da’wah Islam di penjara ini pesat sekali. Kita
justeru sering kewalahan melayaninya. Sekarang ada beberapa penjara yang
kekurangan tenaga pembimbing ruhani karena jauh dari masyarakat Muslim,
seperti yang terjadi di Spokane. Kami sulit kita ke sana karena harus
berkendaraan dengan jarak jauh. Padahal Correctional Center-nya sudah
siap membiayai.
Apa saja kegiatan pembimbing ruhani di penjara itu, apakah harus tinggal di dalamnya, lalu ceramah setiap hari?
Karena saya punya kesibukan juga di
masyarakat maka tugas ceramah di penjara saya gilir. Ada giliran untuk
masjid dan ada giliran untuk penjara. Penjara Shelton Correctional
Center saya datangi sebulan sekali.
Selama di penjara ada waktu khusus untuk ceramah?
Ya, kegiatan rutinnya ada jatah waktu.
Misalnya di penjara Pulau Mc Neil, pertama diberi kesempatan untuk
ketemu dengan orang yang dipenjara dengan hukuman maksimum. Dengan orang
demikian ini sistemnya one to one (satu orang imam menghadapi satu
orang napi). Penjagaan keamanannya pun maksimun, kami bicara melalui
sebuah lubang saja. Penjara seperti itu biasanya dikhususkan bagi napi
yang dianggap sulit dikontrol dan suka membuat kegaduhan. Orang yang
demikian di dalam maupun di luar sel selalu tetap diborgol. Pertemuan
berikutnya menggunakan sistem kelas. Biasanya kegiatan ini dimulai
dengan shalat Maghrib berjama’ah. Sebelumnya di dapur sudah ada
pengumuman: Bible Studies di ruang A, Islamic Studies di ruang B, dan
seterusnya. Dan setiap orang boleh datang asal mendaftar. Yang datang
bisa 20. 30, 40, ataupun 50. Banyak orang Amerika yang sudah tahu Bibel
(Injil), sehingga terkadang mereka ingin tahu kajian agama lain. Jadi
orang non-Muslim boleh ikut Islamic Studies asalkan mendaftar dulu. Bagi
yang sudah tahu banyak tentang dasar-dasar keislaman biasanya ikut
kelas ‘advance’ (lanjutan) pada jam kedua, pelajarannya antara lain
studi tafsir.
Perubahan apa yang mereka alami setelah masuk Islam?
Ada seorang napi kulit hitam, dulu
namanya Smith, sekarang namanya Lukman. Orangnya seperti Mike Tyson.
Sebelum masuk Islam dia di penjara Walawala, penjara untuk napi kelas
berat, seperti penjara Nusakambangan-lah kalau di Indonesia. Dia
dipenjara seumur hidup karena pembunuhan. Dulu dia orang yang
temperamental. Kalau tidak senang pada seseorang main hajar saja. Kalau
tidak suka pada makanan, akan dilempar olehnya. Makanya dia harus
dikawal terus. Tapi setelah masuk Islam luar biasa perubahannya. Semua
orang kaget, karena dia menjadi sangat sopan. Makanya dia kemudian
dipindahkan ke penjara Monroe. Lukman dulu seorang ketua geng, sehinga
kemudian jadi orang yang sangat berpengaruh dalam da’wah di penjara.
Sebelum saya bertugas di penjara Monroe, saya sering ketemu napi yang
masuk Islam. Saya tanya, “Kenapa kamu masuk Islam?” “Karena Lukman,”
kata mereka. Ceritanya, Lukman -dan juga orang Amerika pada umumnya-
senang kalau diterangkan fadhilah-fadhilah, atau keutamaan-keutamaan,
misalnya keutamaan shalat malam (tahajud). Pernah saya sampaikan pada
Lukman tentang fadhilah shalat malam. Dia senang sekali mendapatkan
fadhilah itu. Dan sejak itu dia tak pernah sekalipun meninggalkan shalat
malam. Bangun jam tiga sampai subuh. Pengaruhnya luar biasa. Ada
seorang napi kulit putih yang sekamar dengan dia. Setelah tiga bulan
rupanya si napi ini penasaran melihat perilaku Lukman. Ditanyalah
Lukman, “Exercise (latihan olahraga) apa yang kamu lakukan tiap malam?”
“Ini bukan exercise, tapi praying (shalat). Jesus (Nabi Isa) juga
shalatnya begini ini,” kata Lukman. “Lalu apa ini yang kamu baca?”
tanyanya lagi. “Ini kitab suci Al-Qur’an,” kata Lukman. “Boleh saya
baca?” “Boleh, silakan,” kata Lukman. Lukman setiap hari Senin pergi ke
Monroe untuk mengikuti ceramah saya. “Kita punya guru agama dari
Indonesia,” kata Lukman sambil mengajak si Napi kulit putih itu ikut
kajian Islam. Ternyata dia mau. Hampir tiap Senin dia datang. Namanya
John, orang Amerika. Sewaktu membawa jama’ah haji ke tanah suci, saya
sempat tiga bulan tida a k datang ke Monroe. Ketika saya ke Monroe lagi,
saya lihat John ada di kelas itu. Tapi sudah pakai kopiah, pertanda dia
sudah masuk Islam. Saya sapa dia,”Apa kabar John?” “No, no,no. Nama
saya bukan itu lagi. Nama saya sekarang adalah Salman,” katanya.
Alhamdulillah dia dapat hidayah melalui shalat malamnya Lukman.
Bagaimana kondisi penjara di Amerika?
Di Amerika ini penjara seperti hotel.
Semua fasilitas ada. Anda mau mengambil studi PhD dari penjara juga
bisa. Mau ke perpustakaan lengkap. Mau olahraga apalagi. Jadi kalau Anda
masuk ke sana seperti tidak di penjara. Seperti kampus saja. Ada
nomornya, ada kamarnya. Kalau makanan tidak enak, napi bisa demonstrasi.
Semua napi -di Amerika disebut inmates- diperlakukan sama tanpa
diskriminasi. Itulah kenapa saya bilang, nilai-nilai Islam kok lebih
banyak saya temukan di Amerika. Masyarakat di sini cenderung lebih
‘Islami’. Di penjara di Amerika semuanya enak. Makanan enak, tempat
tidur enak. Saking enaknya, lebih enak jadi narapidana daripada jadi
tunawisma. Seorang tunawisma, karena tak punya rumah, akan mengalami
kedinginan di musim salju. Karena itu jadi wajar jika ada tunawisma
sengaja mencuri supaya masuk penjara.
Selama berinteraksi dengan napi, ada pengalaman yanag mengesankan?
Banyak. Karena dekatnya hubungan kami,
setelah mereka keluar penjara kami masih sering kumpul. Sekarang ini ada
di antara mereka yang tinggal di Olympia dan ada yang tinggal di
Seattle. Setiap Sabtu dia datang ke tempat kami. Suasananya lebih
semarak lagi pada bulan Ramadhan. Di bulan puasa ini para napi biasanya
buat reuni.
Kalau bekas napi sering kumpul, jangan-jangan malah kambuh lagi kejahatannya?
Ada kemungkinan begitu. Dulu ketika saya
baru bertugas di sini hanya ada empat penjara besar. Kini ada 12
penjara. Artinya jumlah napi semakin banyak, sehingga penjara yang ada
tak mampu menampungnya. Yang membuat parah kondisi itu, 80% napi yang
sudah keluar akan masuk penjara lagi, karena berbuat kejahatan lagi.
Kecuali mereka yang masuk Islam, sedikit saja napi Muslim yang masuk
penjara kembali.
Apa pertanyaan yang paling banyak ditanyakan oleh napi kepada Anda?
Tergantung zamannya. Kalau
sekarang-sekarang ini kebanyakan masalah Islam dan terorisme. Juga
masalah Islam dan wanita. Dan isu-isu yang diangkat banyak oleh media.
Tapi kalau dalam suasana tenang mereka banyak bertanya tentang nabi Isa.
Pertanyaan yang sering diungkap antara lain, “Siapakah Muhammad itu?
Bagaimana dia bisa menjadi seorang nabi? Bagaimana ceritanya?” Kemudian
tentang Al-Qur’an, mereka bertanya “Bagaimana Qur’an diturunkan kepada
Muhammad, apa isinya?” Yang menarik, para napi ini -dan juga orang
Amerika pada umumnya- kalau kita kasih Qur’an, umumnya mereka melihat
indeks. Mereka mencari perihal Yesus. Mereka ingin tahu, apa yang Islam
katakan tentang Jesus. Tapi sebetulnya yang membuat mereka tertarik
pertama-tama adalah karena ketemu dengan Muslim.
Jadi faktor pribadi sangat berpengaruh dalam kegiatan da’wah di penjara ya?
Ya, faktor pribadi-lah yang paling
menarik mereka masuk Islam. Para napi yang Muslim inilah yang berperan
penting menda’wahi napi lainnya. Sebab mereka kan setiap hari tinggal di
situ, sedangkan saya hanya sepekan dua kali. Mereka sama-sama orang
Amerika, bahasanya sama, pengalamannya serupa, sama-sama pernah terlibat
perkara pidana kriminal. Sehingga kalau berlangsung da’wah di antara
sesama napi jadi sangat efektif. Lewat interaksi itu mereka bisa
menda’wahi napi yang belum beragama Islam. Pengaruh itu semakin mendapat
momentum pada bulan Ramadhan. Di bulan ini yang masuk Islam bertambah
banyak sekali karena ibadah napi Muslim nampak sekali pada bulan
tersebut. Pada jam tiga pagi mereka beramai-ramai bangun kemudian
mengenakan kopiah dan jalan menuju tempat sahur di penjara. Lalu mereka
membaca Al-Qur’an sampai satu juz setiap hari. Ketika napi-napi lain
makan pagi dan makan siang, para napi Muslim tidak makan. Mereka baru
makan setelah buka puasa. Pada bulan puasa, para napi Muslim juga sangat
menghindari bicara kotor. Padahal di Amerika ini kan orang sangat biasa
bicara kotor. Sehingga ketika melihat seseorang itu omongannya baik,
napi lain jadi tertarik. “Dia orang bersih. Saya ingin seperti dia,”
komentar yang lain.
Anda pernah mengalami kekerasan secara fisik ketika berhubungan dengan napi, dipukul atau bersitegang misalnya?
Alhamdulillah di Amerika ini keamanan
penjaranya relatif baik. Dan Alhamdulillah saya sendiri belum pernah
mengalami kejadian serius yang mengancam saya. Kalau antar napi dengan
napi sering terjadi. Sehabis peristiwa 11 September ada peristiwa
menarik. Demi keselamatan, para napi Muslim diamankan dari yang lain.
Sebelumnya ada satu napi Muslim yang badannya besar dikeroyok sepuluh
orang. Tapi karena dia jago tinju, dia bisa lawan mereka semua.
Ada perasaan takut atau was-was ketika bertemu dengan napi, khususnya mereka yang dihukum berat?
Alhamdulillah tidak ada. Yang kasar ada,
tapi biasanya cuma ya sekedar ngomong doang. Misalnya ketika
ramai-ramai perang teluk, ada yang panggil saya, “Hai Saddam!”
Busana apa yang Anda pakai saat bertugas sebagai pembimbing ruhani di penjara?
Ya seperti inilah, pakai kopiah. Bila hari Jum’at kadang saya pakai baju Pakistan (gamis panjang).
Jadwal kunjungan dan acara di penjara, itu diatur oleh pengelola penjara atau oleh Anda sendiri?
Pengelola penjara yang mengatur.
Misalnya saya di McNeil diberi jatah 32 jam, di Shelton 16 jam, maka
tinggal kemudian saya menyesuaikan diri untuk menggilir. Saya harus tahu
kapan waktu-waktu yang tepat buat ketemu napi, karena di penjara itu
kan para napi bekerja. Jadi penjara di Amerika ini seperti pabrik.
Mereka bekerja dan dapat gaji, hanya gajinya kecil. Tapi bagi napi itu
lebih baik daripada dia menganggur. Mungkin sekarang Anda banyak
menerima tawaran menggiurkan bekerja di luar penjara.
Tapi mengapa Anda tetap bertahan di posisi ini?
Memang betul, sekarang ini banyak
tawaran menggiurkan untuk saya. Di berbagai masjid banyak lowongan
tersedia untuk menjadi imam dengan gaji besar, apalagi kalau di kota
besar seperti New York. Masalahnya di sini (di Seattle) jarang ada
tenaga ahli agama Islam. Juga jarang orang Amerika yang bisa mengajarkan
Islam. Padahal sekarang banyak orang yang ingin belajar Islam, terutama
setelah peristiwa 11 September. Saya tidak tega untuk meninggalkan
mereka yang di penjara ini.
Ada rencana untuk kembali ke Indonesia?
Ada, mungkin sepuluh tahun lagi.
Dari tiga kota: Jakarta, Kairo, Seattle, mana yang menimbulkan kesan paling dalam bagi Anda?
Ya di Amerika inilah, khususnya di
Seattle. Saya menemukan Islam di sini. Di sini Saya bisa menimba ilmu
dan mengamalkannya. Di sini ini kalau ada orang Amerika masuk Islam,
mereka serius sekali. Baru mengenal beberapa ayat Al-Qur’an sudah
langsung dijalankan. Mereka jadi seperti Al-Qur’an berjalan. Ada seorang
mualaf namanya Jalaluddin. Setiap hari dia berkendara dari Olympia ke
Seattle, hanya untuk belajar Islam. Suatu waktu dia bilang dia ingin
menikah dengan Muslimah Indonesia. Jalaluddin ini orang bule asli
keturunan Jerman. Kebetulan ada kawan perempuan istri saya, teman waktu
sekolah di Bandung dulu. Saya kenalkan dia dengan Jalaludin. Setelah
saling kirim data akhirnya mereka saling setuju untuk menikah.
Jalaluddin ini fenomena yang mengagumkan, masya Allah. Saya tidak bisa
mengantar dia ke Bandung, sehingga dia datang sendirian ke Indonesia.
Sebelum menikah dia tinggal sekitar sepekan di rumah mertua saya di
Bandung, untuk melakukan persiapan. Jalaluddin punya kebiasaan berdzikir
ba’da shalat Maghrib hingga masuk waktu shalat Isya. Dia dzikir di
mushalla. Kebetulan di rumah mertua saya ada mushalla. Mertua saya
bertanya, “Kamu kok kalau dzikir nikmat sekali?” Dia bilang, “Saya ini
dulu suka minum alkohol, suka mengganja, suka fly. Sekarang saya juga
bisa fly, tapi dengan cara dzikir. Alaa bi-dzikrillah tathmainul qulub
(Ketahuilah, bahwa dengan berdzikir/mengingat Allah, hati menjadi
tenang).”
Lalu bagaimana pernikahan mereka?
Nah, saat dinikahkan di Haurgelis,
Bandung, Jalaluddin menolak duduk bersanding. Padahal adat di berbagai
tempat ‘kan pengantin biasa bersanding di pelaminan. Dia ingin duduknya
dipisah dengan pengantin wanita. Kata dia, “Kita ini masuk Islam untuk
meninggalkan jahiliyah.” Akhirnya pelaminan dipisah. Begitu juga tamu
perempuan dan laki-laki terpisah. Selama tinggal sementara di rumah
mertuanya, dia jadi sosok perhatian orang sekitar, karena begitu
mendengar adzan dia langsung ke masjid. Untuk pergi ke masjid dia harus
lewat pasar. Bagaimana tidak jadi perhatian, ada orang bule tinggi besar
pakai baju batik pergi ke masjid. Padahal banyak orang di pasar dan
madrasah dekat situ yang sudah puluhan tahun di tempat bila terdengar
adzan tidak peduli. Akibatnya mereka merasa malu. Begitu pula
ustadz-ustadz di madrasah ini juga merasa malu. Sehingga akhirnya mereka
ke masjid juga. Anak-anak muda yang suka main bola juga penasaran. Ini
bule bisa shalat nggak sih. Akhirnya mereka semua pergi ke masjid,
sehingga masjid jadi penuh.
Waktu pulang ke Indonesia beberapa waktu
lalu, di ANTeve, Anda bercerita seorang Rabbi dalam wawancara dengan
CNN menyitir hadits Nabi yang mengatakan menjelang hari kiamat nanti
orang Islam akan memerangi orang Yahudi?
Hadits ini shahih. Jadi pada hari
mendekati kiamat orang Muslim dan orang Yahudi akan berperang dan orang
Muslim akan mengalahkan orang Yahudi. Sampai orang Yahudi bersembunyi di
balik batu dan batu memberitahukan keberadaannya. Saat bersembunyi di
balik pohon, pohon pun akan memberitahukan. Kecuali satu saja yaitu
pohon gharqat. Anehnya orang Yahudi mempercayai hadits tersebut.
Kebetulan saya pernah ke Israel tiga kali. Ternyata di sana pohon
gharqad banyak ditanam orang Yahudi. Di New York kalau kita pergi ke
tempat orang Yahudi Orthodox, juga ada pohon itu. Apa penjelasan rabbi
Yahudi itu? Dia bilang, “Ya saya percaya dengan apa yang dikatakan
Muhammad. Tapi jangan takut. Ini masih lama.” Ketika orang bertanya,
“Kapankah waktu itu akan datang?” Sang rabbi tersebut mengatakan, “Hal
itu baru akan terjadi ketika jumlah ummat Islam yang datang ke masjid
pada saat shalat Shubuh sama dengan jumlah yang datang pada shalat
Jum’at.” Maksud Rabbi itu, hal tersebut baru terjadi ketika umat Islam
sudah menjalankan Islam secara bersungguh-sungguh.
Selama di Amerika apakah Anda melihat ada kemajuan dalam lobi politik Islam dibandingkan dengan lobi politik Yahudi?
Setelah berdirinya CAIR (Council on
American-Islamic Relation) agak lumayan. Sehabis peristiwa 11 September
kedudukan ummat Islam justeru jadi lebih kuat lagi. Dulu tidak mungkin
Presiden Amerika datang ke Islamic Center. Sampai berkali-kali lagi.
Juga agak janggal kalau FBI atau pejabat Departemen Luar Negeri
berkali-kali minta bertemu dengan organisasi-organisasi Islam, mengajak
kerjasama. Berarti kan hubungannya kuat. Juga bagaimana kita bisa
memaksa untuk melakukan propaganda tidak langsung tentang Islam? Coba
apa kata Bush setelah 11 September? “Islam adalah agama
(di kutip dari : http://harry.sufehmi.com)
Demikianlah
beberapa artikel yang menggambarkan pertumbuhan pesat jumlah pemeluk
Islam di Amerika setelah tragedi 11 september 2001. Hal serupa juga
terjadi di Eopa, masyarakat Eropa mulai melirik Islam. Paham
sekuler-liberal di Eropa menyebabkan turunnya kepercayaan masyarakat
Eropa terhadap ajaran Kristen. Gereja mulai sepi dan ditinggalkan
pengikutnya, masyarakat jauh dari kehidupan ber-agama. Masyarakat Eropa
terjebak dalam kebebasan yang kebablasan, freesex, gay, lesbian, minuman
keras, narkoba telah merusak moral generasi muda, mereka butuh pegangan
rohani, masyarakat Eropa mulai melirik Islam untuk mendapatkan
ketenangan dan kedamaian.
Manusia
yang berjumlah hampir 7 milyar dibumi ini semua adalah mahluk ciptaan
Allah, kalau Allah mau niscaya mereka semua akan ber-iman. Namun Allah
tidak menghendaki demikian Ia menjadikan dunia ini kancah ujian bagi
hamba-hambanya. Ia memberi petunjuk pada siapa yang dikehendaki dan
membiarkan sesat siapa yang dikehendaki. Allah telah menciptakan Syurga
dan Neraka masing masing tentu harus ada penghuninya. Manusia diberi
akal, fikiran dan hati serta diberi kebebasan untuk memilih mau jadi
penghuni Syurga atau Neraka. Masing - masing telah ada kriteria yang
ditetapkan, orang yang seperti apa yang akan menghuni Syurga dan orang
seperti apa pula yang akan menghuni Neraka.
Saat
ini jumlah umat Islam diseluruh dunia baru mencapai 1,7 milyar, umat
Islam masih merupakan golongan minoritas dari seluruh penduduk dunia.
Mungkinkah kelak umat Islam menjadi golongan mayoritas di dunia ini?
Wallahu alam. Terserah pada kehendak Allah, kewajiban kita hanya
menyampaikan dakwah dan menghidupkan syiar Islam. Mari kita renungkan
beberapa firman Allah pada kutipan beberapa ayat Qur’an berikut ini:
Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan. (An Nahl 93)
Barang
siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk,
niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barang
siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan
dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit.
Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.
(Al AnAam 125)
Dan
jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka
bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka
menjadi orang-orang yang beriman semuanya? (Yunus 99)
Jika
mereka tetap berpaling, maka sesungguhnya kewajiban yang dibebankan
atasmu (Muhammad) hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.
(An Nahl 82)
Beberapa
ayat diatas menggambarkan bahwa Islam dikembangkan dengan damai bukan
dengan kekerasan sebagai dituduhkan oleh sebagian orang di Negara barat.
Nyatanya sebagian besar masyarakat Amerika yang masuk Islam setelah
tragedi 11 september 2001 bukanlah karena ancaman atau paksaan, tapi
karena kesadaran mereka sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar