Selamat datang

SELAMAT DATANG DI BERITA-BERITA ISLAM
BLOG YANG KHUSUS UNTUK BERITA-BERITA ISLAM

Senin, 27 Februari 2012

"Salat Jumat itu Mengusik Intelektualitas, Jiwa dan Hati Saya"



Raphael, warga AS keturunan Amerika Latin ini, adalah seorang pemimpin kelompok keagamaan Saksi Yehova sebelum akhirnya ia mengubah keyakinannya pada Alkitab ke Al-Quran setelah berkunjung ke sebuah masjid.
Lelaki kelahiran Texas yang berprofesi sebagai dosen dan suka melawak ini mengucapkan dua kalimat syahadat pada tanggal 1 November 1991. Sebagai mantan pemimpin jamaah gereja Saksi Yehovah, tak sulit bagi Raphael untuk mendakwahkan Islam, begitu ia menjadi seorang muslim. Lalu bagaimana ceritanya sampai Raphel mengenal Islam dan akhirnya memutuskan masuk Islam?
Sejak usia muda, 20 tahun, Raphael sudah dipercaya untuk memimpin sebuah jamaah Saksi Yehova. Ia mengatakan, gereka Saksi Yehova memiliki sistem kaderisasi berupa program pelatihan yang sangat canggih, dengan memberlakukan sistem kuota. Seorang kader pemimpin Saksi Yehova harus mengabdikan dirinya, dengan cara menyediakan waktu 10 sampai 12 jam setiap bulannya, untuk melakukan khutbah dari rumah ke rumah.
"Sistem kerjanya seperti manajemen penjualan. Manajemen penjualan di IBM saja mungkin kalah dengan para kader Saksi Yehova yang dilatih menjadi pemimpin kelompok," kata Raphael memberikan gambaran canggihnya sistem pelatihan kader di Saksi Yehova.
"Maka, ketika saya sudah menjadi seorang kader pelopor, saya mengabdikan hampir seluruh waktu saya berkunjung dari pintu ke pintu. Saya diwajibkan melakukan khutbah selama 100 jam per bulan, dan harus mempelajari tujuh versi Alkitab," sambung Raphael.
Tapi lama kelamaan, Raphael merasakan ada kejanggalan dalam ajaran Saksi Yehova, termasuk konsep sistem kuota. Sepertinya, jika seseorang berhasil memenuhi kuota yang ditetapkan untuk menyebarkan ajaran Saksi Yehova, maka Tuhan akan mencintai orang itu. "Jika Anda tidak bisa memenuhi kuota di bulan-bulan berikutnya, Tuhan tidak akan mencintamu. Hal ini sungguh tidak masuk akal. Bagaimana bisa. di bulan ini Tuhan mencintai saya dan di bulan lain Tuhan bisa tidak mencintai saya hanya karena tidak memenuhi kuota yang ditetapkan," papar Rapahel.
Hal lain yang menurutnya tidak masuk akal adalah, keyakinan ajaran saksi Yehova bahwa merelah satu-satunya umat yang akan diselamatkan oleh tata baru dunia yang ditetapkan Tuhan. Mereka yang bukan penganut Saksi Yehova, tidak akan selamat.
"Saya berpikir, Bunda Theresa bukan seorang penganut Saksi Yehova, tapi ia menghabiskan waktunya untuk melakukan apa yang diajarkan Yesus, melakukan kebaikan; mulai dari menjaga orang-orang jompo, merawat orang sakit dan anak-anak yatim piatu. Tapi apakah Tuhan tidak akan menyayanginya hanya karena ia seorang Katolik, agama yang dianggap musuh oleh jamaah Saksi Yehova?" tanya Raphael heran.
Masih banyak lagi hal-hal yang ia lihat dan ia dengar, yang membuatnya justru jadi mempertanyakan ajaran Saksi Yehova yang sedang disebarluaskannya. Secara spiritual, Raphael mengaku ia tidak lagi merasa nyaman. Tahun 1979, Raphael memutuskan untuk keluar dari jamaah Saksi Yehovah, sambil menggerutu karena baru saat itu ia sadar bahwa selama ini ia telah banyak membuang waktunya dengan mengabdikan diri pada gereja.
"Problemnya, saya tidak mengabdikan diri pada Tuhan. Tapi pada organisasi buatan manusia," tukas Raphael.
Lepas dari Saksi Yehova, ia bingung mau kemana. Ajaran Yehova mendoktrinnya untuk meyakini bahwa semua ajaran agama adalah salah, kecuali ajaran Saksi Yehova, bahwa menyembah berhala itu perbuatan buruk dan konsep Trinitas tidak berlaku.
"Saya seperti lelaki tanpa agama. Saya bukan seorang lelaki, tanpa keyakinan pada Tuhan. Tapi ketika itu saya tidak tahu harus pergi kemana," ujar Raphael.
Mengenal I-S-L-A-M
Tahun 1985, ia pindah ke Los Angeles dan mendatanagi gereka Katolik yang berlokasi tak jauh dari rumahnya. Raphael ingin mencoba ajaran Katolik, tapi itu hanya bertahan selama dua sampai tiga bulan. Raphael kemudian menjalani kembali kehidupan tanpa agamanya, sembari bekerja dengan membintangi beberapa film dan menjadi bintang iklan.
Suatu hari di sebuah mall menjelang perayaan Natal, Raphel melihat seorang perempuan melintas di hadapannya. Ia mencoba menyapa perempuan itu dan ingin mengajak mengobrol, tapi ia tidak mendapat respon. Dari si perempuan itu pula Raphael tahu bahwa ia seorang muslimah dan tidak bisa sembarangan bicara dengan seorang lelaki, kecuali betul-betul ada keperluan khusus.
Kata "Muslim" benar-benar asing di telinga Raphael, ia pun meminta si muslimah tadi mengeja huruf-huruf dari kata Islam, agama orang Muslim. Ketika itu, yang Raphael tahu semua Muslim adalah teroris. Tapi Raphael terus bertanya pada muslimah tadi tentang bagaimana awal munculnya agama Islam. Si muslimah lalu menceritakan bahwa agama Islam diturunkan pada Nabi Muhammad Saw dan disebarkan oleh nabi terakhir pada umat manusia.
Setelah mendengar cerita tentang Islam dan Nabi Muhammad, Raphael mulai melakukan riset. Niatnya waktu itu cuma ingin mencari tahu, dan tidak punya keinginan untuk menjadi seorang muslim.
Meski tak menganut agama apapun, Raphel terus berdoa. Namun ia merasa doa-doanya tak dijawab Tuhan. Hingga suatu hari, saat membereskan laci meja pamannya yang akan pulang setelah dirawat di rumah sakit, Raphael menemukan Injil Gideon di dalam laci itu, dan ia merasa Tuhan menjawab doanya bahwa ia harus menjadi seorang penganut Kristen. Raphael pun berdoa lagi, meminta pada Tuhan agar ia bisa menjadi seorang Kristen. Bukan menjadi menjadi seorang penganut Saksi Yehova lagi, dan bukan penganut Katolik.
Suatu ketika, saat sedang membaca Kitab Perjanjian Lama, Raphael teringat perkataan muslimah yang ia jumpai di mall bahwa kaum Muslimin punya seorang nabi, Nabi Muhammad Saw. "Tapi mengapa nama Nabi itu tidak ada dalam kitab ini?" Raphael bertanya-tanya dalam hati.
Ia pun mulai memikirkan tentang kaum Muslimin, berapa jumlahnya di seluruh dunia? Raphel pun memutuskan untuk mulai membaca terjemahan Al-Quran. Ia lalu pergi ke sebuah toko buku bahasa Arab. Pada penjaga toko, Raphael mengatakan bahwa ia membeli Quran karena cuma ingin membaca isinya, bukan ingin menjadi orang Islam.
Sesampainya di rumah, Raphael mulai membaca Al-Quran, mulai dari Surat Al-Fatihah dan seterusnya, mata Raphael seolah tidak mau lepas dari Al-Quran yang dibacanya. Ia terkesima begitu mengetahui bahwa Al-Quran juga menceritakan tentang nabi-nabi lainnya yang Raphael kenal dalam ajaran Kristen, seperti Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, dan lain-lain.
Ke Masjid
Setelah membaca Quran, Raphael berpikir, apa lagi yang akan ia lakukan selanjutnya? Ia lalu membuka buku halaman kuning, dan akhirnya menemukan apa yang ia cari, sebuah Islamic Center di Vermont, California Selatan. Setelah menelpon ke Islamic Center itu, pihak Islamic Center memintanya datang pada hari Jumat.
"Saya betul-betul grogi waktu itu. Saya berpikir bahwa saya akan pergi menemui seorang habib bersenjata AK-47," ungkap Raphael membayangkan "teroris muslim" yang kerap ia baca dan dengar dari media massa.
Akhirnya, ia sampai juga ke Islamic Center di Vermont. Saat datang, sedang berlangsung khutbah Jumat, kemudian Raphael melihat orang-orang di Islamic Center melaksanakan salat Jumat bersama.
"Sesuatu mulai merasuki intelektualitas saya, bahkan rasanya sampai ke otot, tulang, hati dan jiwa saya," tutur Raphael mengingat perasaannya saat itu.
Usai salat, beberapa jamaah menyapanya dengan ucapan "assalamualaikum" yang oleh Raphael seperti terdengar kata "Salt and Bacon". Raphael heran ketika banyak orang yang mengucapkan "Salt and Bacon" padanya dengan senyum, seolah orang-orang itu sudah mengenalnya.
Tak tahu apa yang harus dilakukan, Raphael pergi ke perpustakaan dan di sana ia bertemu dengan anak muda bernama Omar, asal Mesir. Omar bertanya, apakah ini pertama kalinya Raphael datang ke tempat itu. Raphael menjawab "Ya".
"Oh, selamat datang. Apakah kamu muslim?" tanya Omar.
"Bukan. Saya cuma pernah sedikit membaca tentang Muslim," jawab Raphael.
"Oh, apakah kamu sedang belajar? Ini pertama kalinya kamu berkunjung ke masjid?" tanya Omar lagi.
"Ya," jawab Raphael.
Ia lalu diajak berkeliling masjid oleh Omar, yang menggandeng tangannya. Seorang lelaki lain, kemudian bergabung dengan mereka. "Orang-orang Muslim sangat ramah dan bersahabat," kata Raphael dalam hati.
Raphael di ajak melihat tempat salat, diberitahu mengapa alas kaki harus dilepas saat masuk ke tempat salat, lalu ke tempat wudu. "Apa? Voodoo (ilmu sihir), saya tidak tahu apa-apa soal Voodoo," kata Raphael terperanjat mendengar kata "wudu" yang terdengar seperti kata "Voodoo" di telinganya.
"Bukan ... Bukan Voodoo, tapi Wudu!" kata Omar yang kemudian menjelaskan apa itu Wudu.
Selesailah acara kunjungan Raphael hari itu. Ia pamit pulang dan meminta pada pustakawan buklet tentang salat. Di rumah, Raphael mempelajari dan mempraktekan petunjuk salat di buklet itu.
Akhirnya, pada tanggal 1 November 1991, Raphael bertekad bulat untuk menjadi seorang muslim dan hari itu ia mengikrarkan dua kalimat syahadat. (In/IslamicBulletin)

"Menikahlah dengan Siapa Saja, Asal Bukan Seorang Muslim"



Pada malam tahun baru saat usianya masih 17 tahun, Susan Carland membuat beberapa resolusi, dan salah satunya adalah "mencari tahu tentang agama-agama lain" selain agama Kristen Baptis yang dianutnya sejak kecil.
Ketika Susan mengungkapkan resolusinya yang satu itu pada sang ibu, ibu yang sangat ia cintai itu menjawab dengan santai, "Aku tak peduli jika engkau menikah dengan seorang bandar narkoba sekalipun, asalkan jangan menikah dengan seorang muslim."
Kala itu itu, agama Islam tidak masuk dalam prioritas agama yang ingin Susan pelajari, apalagi berpikir untuk menikah dengan seorang muslim. "Islam terlihat keras, seksis dan asing," ujar Susan.
Tapi dua tahun kemudian, pada usia 19 tahun, Susan menjadi seorang muslimah. Ia mengucapkan dua kalimat syahadat karena kemauannya sendiri, tanpa pengaruh siapa pun, termasuk pengaruh seorang laki-laki. Lalu bagaimana reaksi ibu Susan melihat puterinya masuk Islam?
Suatu malam, ibu Susan mengatakan bahwa ia membuat daging babi iris untuk makan malam. Malam itulah pertama kalinya ibu Susan tahu puterinya sudah menjadi seorang muslimah. Ibu menyebut Susan 'korban' Islam. "Tapi ibu memeluk saya, meski ia menangis," ungkap Susan. Beberapa hari kemudian, Susan malah memutuskan untuk mengenakan jilbab.
Selama 8 tahun memeluk Islam, hubungan Susan dengan ibunya mengalami masa-masa sulit. Tapi sekarang hubungan keduanya mulai membaik. Ibunya bahkan jadi sering membelikannya jilbab dan mengirimkan hadiah untuk anak-anak Susan pada saat Idul Fitri.
Susan menyelesaikan studinya hingga mencapai gelar PhD. Ia melakukan riset tentang tantangan yang dihadapi kaum perempuan musim dalam masalah kepemimpinan. Susan sekarang menjadi dosen dan tutor di School of Political and Social Inquiry di Universitas Monash, Melbourne, Australia, untuk bidang studi gender, pemuda dan sosiologi agama.
"Saya mencintai Islam dan Muslim, tanpa keraguan. Orang-orang yang paling mengagumkan dan paling inspiratif yang pernah saya temui adalah kaum Muslimin, dan hal itu membantu saya untuk tidak menarik diri sama sekali dari tengah masyarakat," tutur Susan.
Susan menikah dengan seorang lelaki muslim pada Februari 2002. Ia menggelar pesta pernikahannya di kebun binatang Melbourne. Suaminya seorang pengacara bernama Waleed Aly, yang juga menjabat sebagai dewan eksekutif Islamic Council of Victoria. Aly, muslim keturunan Mesir yang lahir di Australia itu juga menjadi dosen di Universitas Monash dan bekerja di Global Terrorism Research Centre.
"Ketika saya masuk Islam, saya dan Waleed belum bertemu. Saya masih seorang diri. Kami memutuskan menikah beberapa tahun setelah saya menjadi seorang muslimah," tukas Susan.
Ditanya tentang perjalanan spiritualnya setelah masuk Islam, Susan mengungkapkan bahwa ia merasakan sebuah kebebasan intelektual. "Saya mengawalinya dengan ikut masuk dalam ruang chatting Muslim di internet. Saya berkenalan dan menjalin komunikasi dengan beberapa muslimah yang sedang menimba ilmu di universitas saya. Mereka dengan sabar menjawab pertanyaan-pertanyaan saya," ujar Susan.
Ia melanjutkan, "Ketika saya membiarkan agama bicara untuk dirinya sendiri melalui tradisinya, melalui para ulama dan teks-teks suci, untuk melawan apa yang ditulis para wartawan di tabloid-tabloid dan perilaku muslim yang menggemparkan, saya menemukan bahwa Islam adalah agama yang penuh kedamaian, egalitarian, berkeadilan sosial dan keseimbangan yang indah antara spiritual dan intelektual."
Susan mendakwahkan Islam dengan membuat program televisi Salam Cafe yang ditayangkan secara nasional oleh jaringan televisi Australia. Ia banyak menerima penghargaan untuk program yang dibuatnya itu. Susan juga sering diundang sebagai pembicara di gereja, sekolah-sekolah, organisasi bisnis, organisasi kemasyarakatan bahkan komunitas Yahudi. Ia aktif di berbagai lembaga penelitian. Tak heran jika ia pernah terpilih sebagai toloh Muslim Australia Tahun 2004, dan mendapatkan hadiah sebesar 2.000 dollar yang ia sumbangkan ke berbagai lembaga amal, baik lembaga muslim maupun non-Muslim. (kw/oi)

Perjalanan Panjang Musisi Inggris Menuju Cahaya Islam

Lahir di Inggris, sejak kecil ia sudah terlibat dalam berbagai produksi musik, bisa memainkan beberapa alat musik dan aktif menyanyi. Hingga ia beralih ke lagu-lagu nasyid dan meluncurkan CD nasyid pertamanya bertajuk "Peace" dalam Konferensi "Global Peace and Unity" di London pada tahun 2008.
Dia adalah Abdullah Rolle. Ia masuk Islam tujuh tahun yang lalu. Perjalanannya menuju Islam seiring sejalan dengan karirnya yang terus berkembang sebagai artis lagu-lagu nasyid. Inilah kisah perjalanan Rolle menemukan cahaya Islam dan menjadi seorang muslim hingga saat ini;
Suatu pagi, Rolle sedang berjalan di pasar. Tiba-tiba seorang muslim datang padanya dan bertanya apakah ia bisa bicara dengan Rolle sebentar saja. Laki-laki muslim itu bertanya apakah Rolle tahu tentang Islam dan Nabi Muhammad Saw, dan Rolle menjawab bahwa ia tahu bahwa Tuhan adalah pencipta segala sesuatu tapi selama ini ia diajarkan tentang Yesus, bukan tentang Nabi Muhammad Saw. Rolle berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Saya tidak pernah serius dengan masalah agama. Beberapa tahun kemudian, saya berbincang dengan seorang muslim tentang Allah yang Mahakuasa, tapi masih belum siap untuk mempertimbangkan apapun tentang Islam atau menjadi seorang seorang muslim," ujar Rolle.
"Saya belum pernah bertemu dengan orang seperti itu. Orang-orang yang saya jumpai adalah mereka terlibat dalam bisnis musik dan mereka punya gaya hidup sendiri-sendiri. Makanya, waktu itu, saya tidak melihat peluang untuk tertarik pada Islam. Tapi rupanya, waktunya saja yang belum tiba," sambung Rolle mengenang pengalamannya bertemu dengan muslim.
Toko Buku dan DVD yang Mengubah Hidupnya
Ketika pindah ke London Timur, Rolle sering berkunjung ke toko buku Dar Assalam di kawasan West End. Rolle senang mengikuti perkembangan dunia, membaca tentang hal-hal yang bernuansa konspirasi dan kejadian-kejadian di dunia.
"Beberapa hal yang saya baca, ada yang benar dan ada yang tidak. Tapi itu tidak juga membawa saya lebih dekat pada Sang Pencipta. Jiwa saya selalu mencari dan mencari, meski saya tidak menyadari itu seratus persen," tuturnya.
Pegawai di toko buku selalu memberikan buklet pada Rolle. Ia menerimanya dan hanya menyimpannya di lemari. Ia baru merasa simpati pada umat Islam ketika AS menginvasi Irak dan Rolle membaca semua buklet yang disimpannya. Rolle bertanya pada dirinya sendiri, mengapa dunia selalu menyerang Islam dan umat Islam. Rolle menyaksikan bagaimana media massa menggambarkan umat Islam sebagai teroris. Rolle tahu bahwa media massa belum tentu benar dan tidak selalu menyampaikan kebenaran. Rolle ingin tahu mengapa ada pihak yang menyerang umat Islam. Dalam kebingungannya mencari jawaban, Rolle masuk kamar, bersujud dan berdoa.
Suatu hari, di depan toko buku Dar Assalam yang biasa dikunjunginya, Rolle berkata pada anak lelakinya, "Aku butuh sesuatu untuk memberi makan jiwa saya. Buku-buku yang lain tidak memberi dampak apapun buat saya." Anak lelaki Rolle lalu menunjuk sebuah DVD berjudul "What Is The Purpose of Life?" oleh Khaled Yasin. Rolle membeli DVD itu. Di rumah, usai menyaksikan DVD yang dibelinya, Rolle merasa sangat terinspirasi.
"Semua hal yang dijelaskan dalam DVD itu, saya merasa sudah tahu semua. Saya tahu apa yang dikatakan di dalamnya adalah kebenaran," kenang Rolle.
Dari DVD itu, Rolle mengetahui bahwa umat Islam menunaikan salat lima waktu sehari. Karena saat itu Rolle masih berkecimpung di jalur musik yang umum, Rolle merasa ia tidak bisa melakukan salat seperti yang dijelaskan dalam DVD tersebut, tapi hatinya yang paling dalam mengakui kebenaran akan perintah salat itu.
Waktu terus berjalan. Rolle jadi sering berkumpul dengan komunitas Muslim dan ia merasakan betapa sahabat-sahabat muslimnya sangat perhatian padanya. "Saya menghabiskan waktu bersama mereka selama dua tahun. Mereka mengajarkan, meluruskan dan mengingatkan saya. Kebanyakan dari mereka adalah pegawai di toko buku itu. Sejak itu saya jadi akrab dengan mereka," ujar Rolle.
Ia terkesan dengan perilaku teman-teman barunya itu. "Saya selalu melihat bahwa kebanyakan muslim sikapnya sopan, baik hati dan suka membantu. Mereka sendiri menghadapi berbagai problematika umat di berbagai belahan dunia, tapi sebagai pribadi, muslim yang saya jumpai selalu bersikap ramah pada saya. Saya ingin berusaha agar menjadi orang yang taat, dan saya terus berusaha. Saya ingin seperti mereka," komentar Rolle tentang muslim.
Pada saat itu, Rolle sudah meyakini Islam, punya dasar pengetahuan yang lumayan tentang agama Islam dan sedang terus belajar tentang Islam. Teman-teman muslimnya bilang bahwa Rolle harus mendeklarasikan dua kalimat syahadat jika ingin menjadi seorang muslim. Teman-teman muslimnya juga mengingatkan Rolle bahwa kematian selalu mengintai setiap manusia, apalagi yang ditunggunya jika tidak segera menjadi seorang muslim. Tapi, lagi-lagi Rolle merasa dirinya belum siap menjadi seorang muslim.
Di tengah kebimbangannya, Rolle menyaksikan DVD berjudul "One Islam" oleh Syaikh Fiez di Australia. Dari DVD itu, Rolle belajar tentang tentang Hari Kiamat dalam ajaran Islam. Rasa takut pada Tuhan tiba-tiba mengusik hatinya, jika ia bisa masuk Islam sebelum Hari Akhir itu, maka Rolle akan melakukannya.
Keesokan harinya, ia menghubungi teman-teman muslimnya, dan mengatakan bahwa ia siap untuk menjadi seorang muslim. Sahabat-sahabatnya menyambut gembira keputusan Rolle dan menyiapkan acaranya di akhir pekan.
Setelah resmi menjadi seorang muslim. Rolle kadang merasa iri melihat para ulama muslim. Ia berharap sudah masuk Islam ketika usianya jauh lebih muda. Tapi Allah Maha Tahu yang baik bagi hamba-hamba-Nya.
"Teman-teman membantu saya pelan-pelan. Di masa awal saya masuk Islam, mereka tidak bilang bahwa musik itu haram. Jika mereka mengatakannya pada saat itu, saya mungkin tidak mau menjadi seorang muslim, karena sedang mengerjakan sejumlah proyek musik. Mereka meyakinkan saya, bahwa sementara itu saya boleh tetap terus bermusik, asalkan saya punya niat sewaktu-waktu saya akan keluar dari dunia musik," tutur Rolle.
Rolle ingat, tantangan terbesar baginya setelah masuk Islam adalah belajar bahasa Arab dan belajar bacaan salat dan doa-doa dalam bahasa Arab. Ia merasa kembali ke bangku sekolah. Tapi Rolle senang karena akhirnya ia berhasil menghapal beberapa surat Al-Quran dan bisa membacanya. "Sehingga saya bisa salat. Saya hal yang sangat ingin bisa saya lakukan lebih dari apapun juga," tukas Rolle yang belajar praktek salat dan membaca Al-Quran juga dari berbagai DVD.
Menjadi Artis Nasyid Internasional
Saat baru masuk Islam, Rolle masih bekerja sebagai guru musik untuk anak-anak di beberapa sekolah dan menulis beberapa lagu untuk anak-anak yang kabur dari rumah dan ditampung di pusat belajar di kota tempatnya tinggal. Ia jadi banyak tahu kisah-kisah sedih anak-anak itu, dan ingin menolong mereka. Rolle juga aktif di pusat kegiatan masyarakat dan berbisnis dengan menawarkan jasa mengajar musik pada anak-anak muda.
Lama kelamaan Rolle berpikiri adakah berkah Allah Swt dengan apa yang dikerjakannya. "Jika saya harus berdiri di hadapan Allah, apa yang akan saya katakan tentang diri saya dan kegiatan saya mengajar musik? Saya akhirnya memutuskan untuk menghentikan aktivitas saya; di sekolah, pusat kegiatan masyarakat dan kegiatan lainnya yang berhubungan dengan musik. Sebagian orang menghormati keputusan saya, sebagian lagi mengatakan bahwa tindakan saya salah," kisah Rolle.
Kala itu, Rolle tidak berpikir untuk beralih ke musik nasyid, meski ia punya studio rekaman sendiri. Rolle lalu bicara dengan seorang muslim yang ayahnya seorang ulama di Arab Saudi dan pemilik Masjid Tauhid di London. Rolle minta nasehat sahabat muslimnya itu dan akhirnya mulai merintis karir di bidang musik nasyid.
Sekarang, selain aktif dalam berbagai kegiatan bersama komunitas Muslim di Inggris, Rolle memfokuskan karirnya sebagai artis nasyid bertaraf internasional, dan meluncurkan CD lagu-lagu nasyidnya bertajuk "Peace" di Afrika Selatan pada tahun 2009. (kw/oi)

Kätlin Hommik, "Ayah, akan Jadi Apa Saya Saat Mati?"



Kätlin Hommik lahir dari keluarga yang menganut agama Kristen di Estonia. Tapi Estonia ketika Hommik masih kanak-kanak, berada dibawah kekuasan Uni Soviet yang berideologikan komunis, dimana agama menjadi hal yang tabu dan tak seorang pun boleh membicarakan soal agama.
Satu hal yang masih diingat Hommik, ketika ia berusia tiga tahun dan menanyakan pada ayahnya, "Akan jadi apa saya saat mati?". Hommik melihat wajah ayahnya tercengang mendengar pertanyaannya. "Bagaimana bisa anak usia tiga tahun mengajukan pertanyaan seperti ini," begitu mungkin yang terlintas di benak sang ayah.
Ayahnya tak memberi jawaban yang memuaskan Hommik kecil. Di tengah kehidupan masyarakat yang berada dibawah kekuasaan komunis yang tak percaya Tuhan, ayah Hommik hanya memberikan jawaban singkat dan sederhana, "Anakku sayang, kamu hanya akan dikubur di dalam tanah ..."
"Saya tidak pernah mendengar hal yang tidak logis dan menyeramkan seperti jawaban ayah saya pada hari itu. Jawaban yang membuat saya mencari kebenaran, meski waktu itu saya baru berumur tiga tahun. Tapi jalan panjang membentang di hadapan saya. Saya tahu, atau sebenarnya merasa bahwa Tuhan itu ada, meski saya tidak bisa harus menyebut-Nya dengan sebutan apa," tutur Hommik.
"Saya tahu Tuhan selalu ada, mengamati saya. Kalau saya harus menjadi seorang anak perempuan yang baik, itu bukan untuk kedua orang tua saya, tapi buat Tuhan, karena Dia-lah satu-satunya yang melihat saya dimanapun saya berada, bukan orang tua saya," lanjut Hommik.
Memasuki masa sekolah, Hommik makin sering mengajukan pertanyaan-pernyataan rumit yang tidak mampu dijawab ayahnya. Sang ayah lalu menyuruh Hommik bertanya pada nenek dari pihak ayah. Nenek Hommik lahir ketika Estonia baru lahir sebagai negara Republik, sehingga sang nenek sempat merasakan dibaptis seperti anak-anak lainnya yang beragama Kristen. Neneklah yang pertama kali mengatakan pada Hommik untuk menyebut "Tuhan" yang selama ini ada dalam pikiran Hommik dengan sebutan Tuhan.
"Nenek juga yang mengajarkan saya doa dalam agama Kristen 'Bapak kami yang ada di surga'. Tapi nenek meminta saya untuk tidak membacanya di depan umum atau di depan orang tua saya, karena jika saya melakukan itu, akan jadi masalah. Saya berjanji pada diri sendiri untuk belajar agama Kristen lebih banyak seiring saya tumbuh dewasa," ungkap Hommik.
Ketika usia Hommik 11 tahun, Estonia merdeka dan lepas dari Uni Soviet. Hommik mewujudkan niatnya belajar agama Kristen. Ia lalu mendaftarkan diri ke sekolah Minggu yang diselenggarakan gereja. Sayangnya, pihak Sekolah Minggu mengeluarkan Hommik, karena ia dianggap terlalu banyak bertanya hal-hal yang oleh gereja dianggap tidak pantas ditanyakan, karena menunjukkan Hommik tidak yakin akan agama yang dipelajarinya.
"Saya betul-betul tidak mengerti mengapa mereka mengeluarkan saya. Saya merasa tidak ada yang salah dengan pertanyaan saya. Saya cuma ingin tahu mengapa Yesus Kristus disebut anak Tuhan, padahal 'Tuhan' tidak menikahi Maria. Lalu, mengapa Adam tidak disebut anak Tuhan, meski dia juga tidak punya ibu dan bapak. Tapi rasa ingin tahu saya ini dianggap terlalu berlebihan oleh guru saya," ujar Hommik menceritakan pengalamannya di Sekolah Minggu.
Ketika menginjak usia 15 tahun, Hommik mulai belajar agama Kristen sendiri. Ia menganggap dirinya sebagai seorang Kristiani. Tapi ia akhirnya menyadari bahwa ia tidak bisa menganggap dirinya seorang Kristiani karena ada banyak hal yang tidak bisa ia terima dalam ajaran Kristen. Hommik lalu berpikir untuk mencari sesuatu yang lain.
Setelah mempelajari beragama agama dan keyakinan, Hommik akhirnya menemukan Islam. Pengalamannya kecewa dengan ajaran Kristen, membuat Hommik cukup lama belajar Islam sebelum benar-benar meyakininya. Waktu yang lama itu berbuah manis, Hommik menemukan apa yang dicarinya. Ia meyakini Islam sebagai ajaran agama yang paling masuk akal dan ia pun memutuskan untuk bersyahadat, menjadi seorang muslimah.
"Saya pindah ke agama Islam setelah bulan Ramadhan pada tahun 2001. Bulan Ramadhan adalah masa-masa yang indah. Orang berpuasa, menahan diri dari kesenangan fisik, memikirkan orang-orang yang kurang beruntung dibandingkan kita. Itulah yang saya rasakan tentang hidup saya sebelum menjadi seorang muslim. Saya berpuasa dari apa yang paling dibutuhkan oleh manusia, puasa dari 'makanan' yang dibutuhkan jiwa dan pikiran," ujar Hommik.
Ia menyambung, "Saya betul-betul tidak punya penjelasan yang logis, mengapa saya masuk Islam setelah Ramadan, bukan sebelum atau pada saat Ramadan. Saya berpuasa sebulan penuh, lalu masuk Islam. Saya pikir, saya harus membersihkan diri saya, saya harus mengambil langkah terakhir untuk menerima sebuah kesempurnaan."
Ketika orang menanyakan mengapa Hommik memutuskan menjadi seorang muslim, Hommik selalu menjawab bahwa sebelumnya ia sudah menjadi seorang muslim, hanya saja ia tidak menyadarinya. Setelah menemukan Islam, butuh tiga tahun bagi Hommik untuk meyakinkan siapa dirinya sebenarnya. Sekarang, jika ada orang bertanya tentang kemuslimannya, Hommik tanpa ragu menjawab "Ya, inilah saya, saya yang sebenarnya. Pada usia 21 tahun saya memutuskan masuk Islam. Terima kasih pada Allah Swt !"
"Menjadi seorang muslim itu penuh rahmat. Kita puasa satu bulan penuh setiap tahun untuk membuat kita menjadi manusia yang lebih baik. Banyak orang di dunia ini harus 'berpuasa' lebih lama dalam hidupnya dalam mencari kebenaran," tandas Hommik. (kw/TI)

Mualaf itu Jadi Ustaz di Kemiliteran AS Setelah Ditolak Jadi Opsir



Khalid Shabazz adalah satu dari lima pembimbing rohani muslim yang bertugas di basis militer AS di Eropa. Perjalanan hidup lelaki asal Alexandria itu, sampai menjadi seorang da'i yang memberikan bimbingan rohani bagi para prajurit AS di Eropa, cukup unik. Ia adalah seorang mualaf yang tekun mempelajari dan memperdalam Islam hingga dipercaya menjadi ustaz.
Nama aslinya adalah Michael Barnes, lulusan perguruan tinggi Jarvis Christian College, menganut aliran Kristen Lutheran. Sebelum bergabung dengan kemiliteran, Ia bekerja di jaringan pertokoan terkemuka di Baton Rouge dengan penghasilan 67 USD per minggu.
"Saat itu, istri saya sedang mengandung anak kedua. Saya harus melakukan sesuatu untuk hidup saya. Saya menemui tenaga rekrutmen dan akhirnya bergabung dengan kemiliteran. Saya masuk ke bagian artileri. Masuk ke kemiliteran adalah hal terbaik dalam kehidupan saya," ujar Shabazz.
Sebagai seorang prajurit artileri, Shabazz hidup prihatin. Tidur di tempat yang kondisinya sangat buruk, disumpahi, dibentak-bentak, tapi itu semua justru mendewasakannya sebagai manusia dan menjadi titik awal ia mengkaji ulang kehidupan religiusnya.
Suatu hari, Shabazz yang waktu itu belum masuk Islam bertanya pada seorang prajurit yang muslim tentang konsep-konsep ajaran Islam. Shabazz terpesona dengan respon dari prajurit muslim itu dan memutuskan untuk mempelajari agama Islam.
Selama dua tahun Shabazz menekuni agama Islam, dan dalam perjalanananya mempelajari Islam, ia memutuskan untuk menjadi staf di kemiliteran. "Saya masuk sekolah staf militer, karena saya ingin keluar dari pasukan artileri," ujarnya.
Dalam kurun waktu dua tahun itu pula, Shabazz memutuskan untuk mengucapkan dua kalimat syahadat dan menjadi seorang muslim. Ia pun mengganti nama Michael Barnes menjadi Khalid Shabazz. Ujian pertamanya setelah menjadi seorang muslim adalah, ketika ia ditolak untuk meningkatkan skornya agar bisa masuk ke Sekolah Kandidat Opsir. Keislaman dan rutinitas Shabazz menunaikan salat Jumat, menjadi alasan penolakan itu.
Shabazz merasa sangat kecewa. Ia lalu mengadukan persoalannya dan bermaksud minta bantuan pada seorang pembimbing rohani Islam yang bertugas di kemiliteran. Ustaz yang ditemui Shabazz malah menanyakan, mengapa Shabazz tidak mencoba menjadi pembimbing rohani saja, jika ditolak masuk Sekolah Calon Opsir, agar ia bisa membantu orang yang menghadapi persoalan seperti dirinya.
Itulah awal cerita Shabazz menjadi seorang pembimbing rohani di dinas kemiliteran AS. "Saya kira hidup ini begitu menakjubkan. Kalau waktu itu saya dibolehkan meningkatkan skor nilai saya agar diterima di sekolah calon opsir, saya mungkin tidak akan pernah menjadi seorang pembimbing rohani atau ustaz di sini," ungkap Shabazz.
Bertugas Sebagai Ustaz di Kemiliteran
Shabazz lalu belajar metodologi Al-Quran, hadis dan perbandingan agama selama dua setengah tahun, untuk menjadi imam di Graduate School of Islamic and Social Sciences di Ashburn. Ia juga belajar bahasa Arab selama dua tahun di Universitas Yordania di Amman.
Shabazz resmi menjadi pembimbing rohani di kemiliteran AS pada tahun 1999. Ia ditugaskan ke berbagai negara untuk mendampingi para tentara AS yang bertugas di Afrika, Bosnia, Kosovo, Polandia dan Timur Tengah. Ia juga pernah ditugaskan di kamp penjara angkatan laut AS, kamp Guantanamo di Kuba, juga ke Irak selama 15 bulan.
Selama di Irak, Shabazz berkeliling ke barak-barak militer AS, memberikan pemahaman tentang Islam dan aspek budaya Islami pada para komandan dan prajurit nonmuslim. "Saya sampaikan pada para komandan pasukan AS di Irak, apa yang boleh dan tidak boleh berdasarkan ajaran agama Islam," tukasnya.
Shabazz mengatakan, prajurit yang muslim tidak berbeda dengan prajurit yang berlatar belakang agama lain. Tujuan utama mereka adalah ibadah. "Setiap Jumat, kami salat berjamaah. Kami saling memberikan dukungan satu sama lain, berusaha menciptakan kenyamanan bagi para jamaah dan memastikan jika para prajurit sedang menghadapi masalah dan kesulitan, kami selalu ada buat mereka," tandas Shabazz.
Dalam melaksanakan tugasnya, Shabazz mengaku lebih banyak menghabiskan waktunya untuk para prajurit yang nonmuslim. "Saya main bola basket dan angkat berat bersama mereka. Kebanyakan dari mereka dekat dengan saya bukan untuk alasan spiritual, tapi untuk mendapatkan pengarahan, saya menjadi mentor mereka," ujar Shabazz. (kw/IE)

Bunda Kaci, dari Aktivis Kristen Menjadi Aktivis Muslim

Kesadararan Kaci Starbuck tentang ajaran Kristen bermula ketika dibaptis di sebuah Gereja Baptis. Dari Sekolah Minggu, Kaci tahu doktrin agamanya mengajarkan bahwa "jika seseorang tidak dibaptis, maka ia akan masuk neraka." Tapi kesediaan Kaci dibaptis bukan karena takut masuk neraka, tapi karena ia ingin membahagiakan banyak orang, terutama ibunya yang mendorong Kaci agar mau dibaptis.
Sejak taman kanak-kanak hingga remaja, Kaci sudah aktif dalam berbagai kegiatan gereja, mulai dari ikut paduan suara gereja, perkemahan tahunan remaja gereja dan kegiatan lainnya. Kaci tumbuh sebagai anak yang memegang teguh ajaran agamanya, hingga kedua orang tuanya bercerai dan mengubah pandangannya pada agama, khususnya agama Kristen yang dianutnya.
Selama ini, Kaci melihat orang tuanya sebagai pasangan yang sempurna. Ayahnya salah seorang petinggi gereja, ibunya juga membina anak-anak muda gereja. Ketika orang tuanya bercerai, ibunya pergi dan Kaci tinggal bersama ayah dan dua saudara lelakinya. Tapi, tiga tahun setelah perceraian, Kaci dan dua saudara lelakinya pindah ke rumah ibunya. Ketika itu, Kaci menyaksikan ibunya tidak lagi pergi ke gereja dan itu mempengaruhi dua saudara lelaki Kaci yang akhirnya beranggapan bahwa pergi ke gereja tidak lagi penting. Sementara Kaci, lebih senang menikmati masa remajanya di bangku sekolah menengah pertama, bertemu dengan dengan banyak teman baru.
Kaci mulai bingung dengan ajaran Kristen ketika ia bertemu dengan seorang teman sekolahnya yang menganut Kristen dari aliran yang berbeda. Temannya itu mengundang Kaci datang ke rumah bertemu keluarganya, dan mengunjungi gerejanya. Kaci memenuhi undangan itu. Ia jadi akrab dengan keluarga sahabatnya itu, bahkan sering mengunjungi gereka mereka di akhir pekan.
Keluarga itu adalah penganut Kristen sekte "Perjanjian Baru". Penganut Kristen sekte ini tidak menggunakan alat musik dalam misa-misa gereja, tapi hanya menggunakan vokal dalam menyanyikan lagu-lagu gereja. Tidak ada pendeta khusus, tapi para sesepuh komunitas itu yang memberikan khutbah setiap minggu di gereja. Perempuan dilarang bicara di gereja, tidak ada perayaan natal, paskah dan hari besar Kristen lainnya, anggur dan roti komune diberikan setiap misa Minggu dan pembaptisan sangat penting bagi penganut sekte ini. Meski Kaci sudah pernah dibaptis, sekte ini tidak mengakui Kaci sebagai penganut "Kristen" jika belum dibaptis dengan cara mereka.
Karena bingung, Kaci mendiskusikan keyakinan sekte tersebut pada ibunya. Kaci merasa ia tidak perlu dibaptis lagi. Ia akhirnya meninggalkan gereja itu, ketika ia masuk kuliah. Saat itu Kaci memutuskan untuk tidak terikat pada gereja tertentu. Ia hanya sesekali pergi ke gereja untuk mendengarkan khutbah yang menurutnya penting.
Di tahun kedua kuliahnya, Kaci bergabung dengan Gereja Wake Forest sebagai penyanyi untuk mencari uang, bukan karena mengikuti aliran gereja itu. Di tahun kedua kuliahnya itu pula, Kaci bertemu dengan seorang muslim yang tinggal satu asrama dengannya.
Belajar Islam Kesana Kemari
Lewat teman muslimnya itu, Kaci sering berdiskusi tentang apa saja. Hingga suatu sore, Kaci menanyakan pada temannya yang muslim itu sebuah pertanyaan filosofis tentang keimanan dan agama. Dari penjelasan sahabatnya itu tentang Islam, Kaci jadi bertanya pada dirinya tentang agama yang dianutnya. Tapi sayang, setelah lama berkomunikasi, Kaci merasa sahabat muslimnya itu tidak lagi menjawab rasa ingin tahu dan memenuhi kebutuhan spiritual yang diinginkan Kaci.
Pada musim panas, Kaci bekerja di sebuah toko buku dan di sanalah ia banyak menemukan buku-buku tentang Islam. Ia bertemu lagi dengan seorang muslim lain di kampusnya, dan Kaci mulai melontarkan banyak pertanyaan padanya tentang Islam. Temannya itu selalu mengarahkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan Kaci pada Al-Quran yang membuat Kaci, mau tak mau membaca isi Quran. Selama satu tahun itu, Kaci dua kali berkunjung ke masjid lokal untuk mencari tahu lebih banyak tentang Islam, dan di sana Kaci merasakan kehidupan komunitas yang akrab.
"Setelah banyak membaca tentang Islam, saya jadi lebih sensitif jika mendengar pernyataan-pernyataan yang berkaitan dengan Muslim. Ketika mengambil kursus pengenalan tentang Islam, saya frustasi mendengar komentar seorang profesor tentang Islam yang saya tahu tidak benar, tapi saya tidak bisa mendebatnya," kata Kaci.
Di sela-sela kuliahnya, Kaci juga aktif dalam organisasi Islam Awareness di kampusnya. Ia bahkan menjadi orang Kristen dan perempuan satu-satunya yang aktif dalam organisasi itu. Kaci tak peduli dengan pandangan orang tentang aktivitasnya itu. Bergaul dengan muslim dan banyak membaca buku tentang Islam, membuat Kaci tidak lagi mengkonsumsi daging babi, tidak minum minuman beralkohol, dan mulai ikut berpuasa di bulan Ramadan. Perubahan ekstrim dilakukannya, ketika ia memutuskan untuk menutup rambutnya, meski bukan berjilbab.
"Sekali lagi, saya merasakan sebuah keindahan dan saya berpikir bahwa hanya suami saya yang boleh melihat rambut saya. Selama ini, saya tidak tahu menahu soal kewajiban jilbab dalam Islam, karena banyak muslimah di masjid yang saya kunjungi tidak mengenakan jilbab," ujar Kaci.
Untuk mencari tahu lebih banyak tentang Islam, Kaci bergabung dengan sebuah komunitas di sebuah situs Islam. Ia lalu bertemu dan berkorespondensi dengan seorang muslim yang juga tinggal di AS. Pada bulan Juli 1996, Kaci menelpon sahabatnya itu, ia menanyakan banyak hal tentang Islam dan Muslim dan mendapatkan jawaban yang masuk akal dan memuaskan. Keeseokan harinya, Kaci langsung datang ke masjid di kawasan Wake Forest, ditemani dua orang temannya, yang satu muslim dan satunya lagi non-Muslim. Tapi Kaci tidak menceritakan maksudnya datang ke masjid untuk apa.
Di masjid, Kaci mengatakan ingin bertemu imam masjid setelah memimpin salat dan memberikan ceramah. Ketika imam masjid datang padanyanya, Kaci bertanya apa yang perlu dilakukan untuk menjadi seorang muslim. Sang imam menjawab, pengetahuan dasar tentang Islam dan bersyahadat. Kaci lalu mengatakan bahwa ia sudah mempelajari Islam selama setahun dan sekarang ia siap menjadi seorang muslim.
Dan hari itu, tanggal 12 Juli 1996, Kaci mengucapkan dua kalimat syahadat dan resmi menjadi seorang muslimah. Setelah masuk Islam, Kaci sempat menemui kendala di tempat kerjanya karena ia mengenakan jilbab. Namun Kaci tetap mempertahankan jilbabnya. Di kampus, Kaci justru menjadi pemimpin organisasi Islam dimana ia dulu aktif di dalamnya. Dan ia dikenal dengan panggilan "Bunda Kaci." (kw/oi)

Perempuan Jerman, "Membaca Al-Fatihah, Jantung Saya Berdebar Hebat"



Khadija Acuna Pihan, perempuan asal Jerman ini bersyahadat pada tahun 2005. Pilihannya menjadi seorang muslimah membuatnya harus "kehilangan" seluruh keluarganya yang tidak bisa menerima keislamannya. Namun ia yakin, suatu saat Allah Swt akan mengembalikan keluarganya dan memahami mengapa ia memilih masuk Islam.
"Islam adalah jalan kebenaran yang akan saya jalani. Sekarang, setiap kali saya berdoa, saya merasa sedang bicara pada Tuhan, dan Tuhan sedang mendengarkan saya," kata Pihan mengawali cerita di awal ia menjadi seorang muslimah.
Ia mengatakan, Islam adalah satu-satunya agama yang memiliki ajaran yang jelas. "Siapa yang membaca Qur'an dengan hatinya, akan menemukan sebuah agama yang terang. Saya meyakini bahwa hanya ada satu Tuhan dan saya bahagia menemukan jalan saya dengan-Nya. Saya yakin sudah melakukan tindakan yang benar dengan masuk Islam. Saya bersyukur, Tuhan menuntun saya ke jalan yang benar," ujar Pihan yang memilih nama Islam, Khadija setelah bersyahadat.
Acuna Pihan lahir dan dibesarkan dalam ajaran Kristen. Ia dan keluarganya rajin ke gereja. Namun, saat datang ke gereja dan mendengar cerita pendeta bahwa Yesus adalah anak Tuhan, selalu terpintas dalam pikiran Pihan mengapa pendeta ini bicara seperti itu dan Pihan tidak mau mengarnya.
"Saya membaca doa yang saya pelajari sejak saya berusia 7 tahun. Tapi saya merasa tak seorang pun mendengarkan doa saya, bahkan Yesus. Mengapa orang-orang ini datang ke gereja dan setelah itu para lelaki pergi ke restoran untuk minum minuman keras, lalu para perempuan bertengkar dengan mereka karena pulang dalam keadaan mabuk. Inikah ajaran Kristen?" tanya Pihan dalam hati.
Pihan yakin pasti ada hal lain yang diajarkan agama. Ia pun mempelajari berbagai agama. "Banyak agaman yang aneh. Orang menyembah Buddha sebagai Tuhan atau menyembah matahari, sapi, bunga, bahkan setan. Hal semacam itu bukan agama saya," batin Pihan ketika itu.
Ia lalu menemukan buku tentang Nabi Muhammad Saw. dan mengetahui bagaimana Rasulullah Saw. menyebarkan agama Islam serta betapa berbahayanya hidup sebagai seorang muslim di zaman itu. Pihan juga membaca sejarah kehidupan Nabi Muhammad Saw, mulai dari silsilah keluarganya, kehidupan rumah tangganya dan siapa saja istri-istri beliau.
"Saya tidak bisa berhenti saat membaca buku itu, sehingga saya membaca semua buku-buku itu dalam satu hari. Buku yang saya baca menceritakan tentang kitab suci Al-Quran yang berisi firman-firman Allah dan rasa ingin tahu saya tentang Quran pun muncul," ujar Pihan.
"Ketika saya membaca surat Al-Fatihah, jantung saya berdebar hebat. Saya terus membaca surat-surat lainnya dan saya hati saya tenang saat membacanya. Ketika saya membaca surat Maryam dan mengetahui apa yang tertulis di surat itu, saya jadi paham mengapa saya tidak bisa memercayai apa yang dulu dikatakan pendeta di gereja," tukasnya.
Ia melanjutkan, "Dalam Kristen, kami belajar bahwa Yesus adalah anak Tuhan dan kami harus berdoa padanya. Itulah yang kami lakukan selama ini. Lalu, saya membaca Quran yang usianya sudah ribuan tahun, dan isinya selalu sama bahwa Yesus hanya seorang nabi seperti juga Nabi Muhammad Saw serta nabi-nabi lainnya. Quran juga menyatakan bahwa Tuhan tidak punya anak dan kita dilarang menyembah Tuhan yang lain kecuali Allah Swt."
Kata-kata dalam Quran yang membuat Pihan beralih ke agama Islam. Selain itu, yang membuatnya meyakini Quran, meski kitab suci itu sudah berusia ribuan tahun, isinya tidak berubah. Berbeda dengan kitab suci umat Kristiani, Kita Perjanjian Lama isinya berbeda dengan Kitab Perjanjian Baru, padahal dalam ajaran Kristen disebutkan bahwa Tuhan mengatkan "Jangan mengubah kata-kata ku kecuali aku perintahkan kalian mengubahnya."
"Kristen memiliki 10 ajaran suci. Salah satunya adalah dilarang membunuh manusia. Tapi ketika orang-orang Kristen datang ke Amerika Selatan, mereka membunuh banyak orang Indian karena orang-orang Indian itu menolak masuk Kristen. Hal yang sama dilakukan orang-orang Kristen di Afrika," papar Pihan.
"Jadi, bagaimana mereka mengajarkan kita jangan membunuh, jika mereka sendiri membunuh. Semua itu membuat saya ingin pindah agama. Saya capek dengan kebohongan ajaran Kristen dan saya menemukan Islam satu-satunya agama yang memiliki ajaran yang jelas ..."
"Islam membawa kembali kebebasan dalam jiwa saya dan saya bahagia sejak awal saya masuk Islam. Islam adalah hidup saya. Tanpa Islam saya bukan apa-apa, dan jika Allah Swt memalingkan wajah-Nya, saya tak mampu hidup," tandas Pihan. (kw/RtI)

"Islam Menenangkan Hati" Mereka yang Memilih Menjadi Muslim di Swedia



Dalam beberapa tahun terakhir, seperti hal di negara-negara Eropa lainnya, Islam berkembang pesat di Swedia. Selain kedatangan imigran Muslim, juga banyak warga asli Swedia yang memeluk Islam. Di negeri ini, nama Muhammad bahkan menjadi nama yang paling populer, sekolah-sekolah untuk muslim mulai didirikan dan banyak orang Swedia yang kini mulai beralih ke makanan halal.
Namun tidak semua pihak senang melihat pertumbuhan Islam yang pesat di Swedia. Khususnya kalangan nasionalis yang dengan segala cara mendiskreditkan Islam, terutama lewat media massa. Mereka juga membuat propaganda-propaganda anti-Islam dan anti-Muslim.
Ole, adalah satu orang Swedia yang masuk Islam, dan sekarang menggunakan nama islami Umar Abdullah. Ia mulai tertarik mempelajari Islam setelah peristiwa serangan 11 September 2001 di AS.
"Saya terkesima menyaksikan kebrutalan serangan teroris pada 11 September 2001. Media massa berlomba-lomba menegaskan bahwa serangan itu dilakukan oleh orang-orang Islam yang terinspirasi dari Al-Quran. Saya jadi bertanya-tanya, buku macam apa yang membuat orang melakukan kekerasan semacam itu," kata Umar yang sebelumnya seorang ateis.
Terdorong rasa ingin tahu, ia pergi ke perpustakaan dan mencari Al-Quran. Ia membaca ayat-ayat dalam Al-Quran yang justru membuat Umar sadar bahwa media massa telah berbohong.
"Alih-alih menemukan hasutan agar orang melakukan kekerasan. Saya menemukan pesan cinta, perdamaian dan rahmat dalam Al-Quran. Kalimat pertama 'dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang' membuktikannya," tutur Umar.
"Saya senang telah menemukan kebenaran, tapi pada saat yang sama saya marah karena selama bertahun-tahun saya tertipu oleh pemberitaan media massa tentang Islam dan Muslim," sambungnya.
Setelah membaca isi Al-Quran, Umar lalu mengunjungi sebuah masjid kecil di Stockholm. Di sana ia belajar agama Islam dan di masjid itu pula ia mengucapkan dua kalimat syahadat. Setelah menjadi seorang muslim, Umar memiliki saudara-saudara baru yang seiman, mereka berasal dari berbagai negara dan latar belakang.
Berdasarkan pengalamannya, Umar Abdullah berpesan agar non-Muslim jangan terlalu percaya dengan pemberitaan negatif media massa Barat tentang Islam dan Muslim. Ia menyarankan, untuk mengetahui kebenaran tentang Islam dan Muslim, sebaiknya seseorang membaca sendiri isi Al-Quran.
Selain Umar, ada Cecilia, perempuan Swedia yang mengenal Islam dari teman sekelasnya. Ceritanya berawal saat orang tua Cecilia memaksanya untuk mengambil pelajaran tambahan bahasa Jerman. Di kelas bahasa Jerman, Cecilia bertemu dengan seorang muslimah asal Somalia bernama Shahrin.
Shahrin sangat menarik perhatian Cecilia, karena gadis Somalia itu selalu terlihat sedang membaca buku. Bahkan di jam istirahat, Cecilia melihat Shahrin tak lepas dari buka bacaan. "Buat saya, Shahri sangat menakjubkan. Bagaimana bisa seseorang punya minat baca yang begitu tinggi," ujar Cecilia.
Ia lalu berkenalan dengan Shahrin dan Cecilia baru tahu kalau Shahrin adalah seorang muslim. Ketika ditanya mengapa Shahrin selalu membaca buku, Shahrin menjawab bahwa mencari ilmu pengetahuan adalah kewajibab seorang muslim dan ia mencari ilmu dengan cara banyak membaca.
Cecilia banyak berdiskusi tentang agama dengan Shahrin, yang membuka mata Cecilia tentang ajaran Islam. Sejak itu, Cecilia mulai bergaul dengan muslimah lainnya di sekolah. Ia banyak bertanya tentang Islam pada teman-teman muslimnya itu.
Cecilia mengaku terpesona dengan ajaran Islam, dengan doktrin yang sederhana dan konsep monoteisme yang mendalam. Ia melihat agama Islam memberikan jalan keluar semua masalah dalam kehidupan manusia.
Meski tertarik dengan Islam, Cecilia belum berani memutuskan untuk masuk Islam. Ia melihat kecenderungan masyarakat Swedia yang masih berprasangka buruk terhadap Islam dan Muslim. Cecilia juga mengaku khawatir dengan reaksi orang lain jika ia memutuskan menjadi seorang muslim.
Ketua Dewan Islam Swedia, Helena Benaouoda mengungkapkan, secara umum minat masyarakat Swedia terhadap Islam makin besar. "Banyak yang datang ke pusat informasi kami dan bertanya banyak hal tentang Islam. Bahkan mereka yang menyebut diri mereka ateis dan sedang mencari makna hidup secara spiritual, banyak yang tertarik dengan agama Islam," ujar Helena yang juga seorang mualaf.
Data statistik resmi pemerintah Swedia menunjukkan terdapat 400.000 Muslim di Swedia, 5000 orang diantaranya adalah orang Swedia asli. Helena mengatakan, jumlah Muslim di negerinya kemungkinan lebih besar dari data yang dimiliki negara. (kw/IN)

Cherniyenko, Mengenalkan Nilai-Nilai Islam Sebagai Solusi Masalah Sosial Rusia



Taras Cherniyenko seperti tipikal banker muda Rusia, berpakaian rapi, berdasi, rambut pendek dan berjanggut tipis. Sambil duduk-duduk di sebuah cafe di Ulitsa Sretenka, ia menceritakan perjalanan spiritualnya, dimulai ketika masih remaja sampai akhirnya memeluk agama Islam dan menggunakan nama islami Abdul Karim.
Sekarang, Cheniyenko menjabat sebagai wakil ketua organisasi tempat berkumpulnya etnis Rusia yang masuk Islam, National Organization of Rusian Muslim. Ia dan rekan-rekannya di organisasi itu, ingin menyebarkan nilai-nilai yang diajarkan Islam--misalnya larangan mengonsumsi alkohol--pada masyarakat Rusia sebagai solusi untuk mengatasi berbagai problem yang dihadapi negeri itu.
"Orang bisa bilang bahwa minum vodka atau anggur adalah salah satu aspek penting dalam budaya Rusia. Tapi, saya bisa menjadi orang Rusia yang baik tanpa harus minum minuman beralkohol. Sebagian besar problem sosial di Rusia disebabkan oleh konsumsi alkohol," kata Cherniyenko.
"Jika kita bisa mengenalkan nilai-nilai sosial yang islami pada Rusia, masyarakat dan negara ini akan lebih kuat," sambungnya.
Cherniyenko mengungkapkan, kebanyakan orang Rusia ingin tahu ketika ia mengatakan bahwa dirinya seorang muslim. "Banyak diantara mereka bertanya, mengapa saya pindah agama. Pertanyaan itu bukan karena mereka kasar, tapi karena mereka ingin tahu," ujarnya.
Banker muda itu lalu bercerita bahwa ia tumbuh dalam lingkungan yang liberal di Petersburg. "Ibu saya mendorong saya dalam hal pendidikan, termasuk mempelajari berbagai budaya dan agama. Saya pernah belajar kitab Taurat dalam bahasa Ibrani, belajar Gospel dalam bahasa Yunani dan sedikit belajar teks-teks agama Hindu," tutur Cherniyenko.
Karena belajar banyak agama itulah yang menuntun Cherniyenko melakukan pencarian terhadap keyakinan yang sesuai dengan interpretasinya. "Saya mencari sebuah keyakinan yang tidak menolak Yesus atau menyembahnya sebagai tuhan, sebuah keyakinan yang mengakui yesus adalah seorang manusia, yang suci dan tanpa dosa, tapi ia tetap manusia. Itulah yang menuntun saya pada agama Islam," papar Cherniyenko.
Menurutnya, National Organization of Rusian Muslim saat ini memiliki anggota sekira 2.000 orang dari 20 wilayah di seluruh Rusia. Jumlah Muslim di Rusia sekarang kira-kira 19 juta jiwa, yang menjadikan agama Islam sebagai agama kedua terbesar di Rusia setelah Kristen Ortodok.
Cherniyenko mengungkapkan, spiritualitas yang mengikat erat antar anggota organisasi National Organization of Rusian Muslim. "Setiap hari saya berdoa untuk ibu saya, keluarga, dan untuk perdamaian serta kesejahteraan komunitas Muslim," tukasnya. (kw/themoscowtime)

Perjalanan Perempuan Afrika Selatan Menemukan Cahaya Islam



Nozibele Phylis Mali, perempuan kelahiran Transkei--bekas wilayah apartheid di Afrika Selatan--datang ke Cape Town pada tahun 1991 untuk mencari pekerjaan. Allah menganugerahkannya cahaya Islam ketika ia bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumah Mehrunisa Dawood, sebuah keluarga muslim.
Saat itu tahun 1995, Mali seperti biasanya melakukan tugas rutinnya di rumah keluarga Dawood. Saat sibuk menyapu lantai, ia mendengar suara anak lelaki keluarga itu yang bernama Shafeeq sedang melantunkan hapalan Al-Qurannya. Seketika Mali terpesona mendengarnya. Ia tidak paham artinya, tapi lantuanan ayat Al-Quran itu membuatnya merasa aneh dan ingin tahu. Diam-diam ia memperhatikan Shafeeq yang sedang duduk khidmat membaca kitab suci Al-Quran di hadapannya.
"Mengapa anak ini duduk seperti itu?" tanya Mali dalam hati. Bagi Mali pemandangan yang ia lihat sungguh indah. Keindahan yang memicu rasa ingin tahunya. Ia bertanya-tanya lagi dalam hati, "Apa yang sedang dilakukan Shafeeq? Mengapa aku begitu terpesona dengan suara yang mengalun begitu merdu?"
Sejak itu, jiwa dan pikiran Mali selalu teringat dengan apa yang ia lihat dan ia dengar hari itu. Mali kagum melihat seorang anak yang dengan khidmat membaca Al-Quran. Ia tidak tahu apa itu Quran. Ia juga tidak tahu soal agama Islam. Tapi ketika ia melihat seorang anak membaca Quran, dan mendengar ayat-ayat suci yang dilantunkannya, Mali mengakui ada sebuah kekuatan yang besar yang meyakinkannya pada sebuah kebenaran.
"Bacaan yang dilantukannya itu datang dari dalam hati," ujar Mali yang mulai tersentuh dengan bacaan Al-Quran.
Tapi sebenarnya, bukan cuma bacaan Al-Quran Shafeeq yang membuat hati Mali tersentuh. Ia juga mengagumi Mehrunisa Dawood sebagai seorang perempuan yang murah senyum. "Perempuan ini, setiap pagi saat saya datang, wajahnya selalu dihiasi senyum," kata Mali, bahkan ketika ia melakukan kesalahan saat bekerja, majikan perempuannya itu tetap bersikap baik, sehingga Mali tak khawatir kemungkinan akan mendapat hukuman karena melakukan kesalahan saat bekerja.
Mali menceritakan, sikap dan perlakuan Mehrunisa Dawood sangat berbeda dengan sikap majikannya terdahulu, meski sama-sama Muslim. Di keluraga Mehrunisa, Mali tidak merasa diperlakukan semata-mata hanya sebagai pembantu atau antara majikan dengan pekerjanya. Tapi ia merasakan hubungan yang lebih hangat dan kekeluargaan. Ini yang membuat Mali merasa bahagia bahkan terharu.
Suatu siang, Mali memperhatikan Mehrunisa yang sedang berwudu lalu salat dengan mengenakan baju panjang dan jilbab. Saat itu, Mali belum tahu soal wudu dan keheranan melihat apa yang dilakukan majikan perempuannya. Mali ingin bertanya tapi agak takut. Semakin lama ia memperhatikan kebiasaan keluarga Mehrunisa, pertanyaan dalam kepalanya makin menggunung.
Mehrunisa ternyata merasakan keingintahuan Mali. Ia tahu, Mali yang lahir dari keluarga Gereja Metodis, sedang membutuhkan bimbingan spiritual. Mehrunisa lalu mengajak Mali diskusi soal agama, gereja dan keyakinan agama Mali. Pembicaraan itu tidak membuat Mali puas. Mehrunisa menasehati Mali untuk berdoa.
"Saat kamu keluar dari pintu ini, katakanlah pada Tuhan 'Oh, Tuhan, tolonglah aku, tunjukan aku kebenaran'. Bacalah doa itu saat kamu berjalan sampai tiba di rumahmu, dan Tuhan akan menunjukkan jalan bagimu, " ujar Mali menirukan perkataan Mehrunisaa ketika itu.
Beberapa bulan kemudian, Mehrunisa mengajak Mali ke kantor Gerakan Dakwah Islam. Seorang imam di kantor tersebut menjelaskan tentang Islam pada Mali yang tanpa menunda-nunda waktu lagi memutuskan untuk memeluk Islam. Saat itu tahun 2005, momen saat Mali mengucapkan dua kalimat syahadat menjadi momen yang mengharukan. Setelah resmi masuk Islam, Mali menggunakan nama Islami Fatima.
Setelah masuk Islam, Fatima Mali merasakan perubahan yang lebih dalam kehidupannya. Ia yang biasanya hanya memikirkan kebutuhannya sendiri, menjadi lebih peka pada orang lain yang membutuhkan. Tapi, ia juga harus menerima kenyataan pahit tidak semua orang senang dengan pilihannya menjadi seorang muslim.
Selama bekerja di Cape Town, Fatima hidup menumpang di rumah saudara lelakinya bernama Douglas. Saudara lelakinya itu tidak pernah mempermasalahkan perpindahan agama Fatimah dan tetap bersedia menampung Fatima di rumahnya. Yang menjadi batu sandungan adalah istri Douglas, yang tidak menentang keislaman Fatima dan secara terbuka menunjukkan kebenciannya pada Fatima.
Meski hidupnya makin berat karena sikap iparnya itu, Fatima berusaha sabar dan bertahan. Tapi lama kelamaan, Fatima tak kuat menghadapi sikap iparnya dan memilih meninggalkan rumah. Ia kemudian menumpang di rumah seorang teman perempuannya yang muslim, bernama Nadia. Di lingkungannya yang baru, Fatima bersama Nadia membantu seorang tetangga dan dua anaknya yang terlantar karena ibunya seorang pemabuk. Ayah dua anak itu sangat terkesan dengan sikap Fatima dan Nadia dan membuatnya memutuskan masuk Islam, dengan mengajak dua anaknya. Fatima merasa bahagia. Ia merasa itulah pertama kalinya ia melakukan hal baik sejak ia masuk Islam. (kw/TTI)

Profesor Frankel: 20 Tahun Menuju Islam



James D. Frankel adalah seorang profesor bidang perbandingan agama dan sekarang mengajar di Universitas Hawai. Di universitas itu, Frankel juga mengajar mata kuliah tentang Islam dan ia sendiri adalah seorang mualaf.
Dari kediamannya di Honolulu, Hawai, Profesor Frankel berbagi cerita tentang perjalanannya menjadi seorang muslim.
Sebelum pindah ke Hawai dua tahun yang lalu, Frankel menetap di New York, kota tempat ia dilahirkan dan dibesarkan. Frankel tumbuh dalam lingkungan keluarga bahagia. Orang tuanya tidak menerapkan ajaran agama tertentu dan hanya menanamkan nilai-nilai moral, meski sebenarnya keluarga Frankel memiliki latar belakang Yahudi.
Satu-satunya koneksi yang pernah menghubungkannya dengan soal agama adalah nenek dari pihak ayahnya, yang masih menjalankan ajaran-ajaran agama Yahudi. Dari neneknya itulah, Frankel belajar sedikit tentang kisah-kisah dalam alkitab dan kisah-kisah nabi.
Orang tua Frankel pernah mengirimnya ke sekolah Yahudi agar Frankel bisa belajar banyak tentang agama Yahudi. Tapi itu tidak berlangsung lama karena Frankel merasa tidak nyaman di sekolah itu, dan sebenarnya ia dikeluarkan dari sekolah karena terlalu banyak bertanya.
"Mungkin itu sudah karakter saya. Sampai sekarang, sebagai seorang muslim dan seorang prfesor, saya tetap jadi orang yang banyak tanya," ujar Frankel.
Jadilah ia tumbuh remaja tanpa basis ajaran agaman apapun. Di usia remaja, Frankel punya dua pengalaman yang menurutnya menjadi pengalaman hidup yang penting. Pada usia 13 tahun, Frankel membaca manifesto Karl Marx dan ketika itu ia memutuskan untuk menjadi seorang komunis. Ia terkesan dengan filosofi komunis yang menurutnya bisa menyejahterakan semua orang.
Pada usia itu juga, Frankel merasa untuk pertama kalinya mulai mendengar tentang agama Islam. Karena sekolah di sekolah internasional, Frankel punya teman dari berbagai negara. Salah satu teman baik Frankel saat itu seorang siswa muslim asal Pakistan. Temannya itu memberikan Al-Quran dan ingin Frankel membacanya.
"Saya tidak mau kamu masuk neraka," ujar Frankel menirukan ucapan temannya saat memberikan Al-Quran.
Frankel mengatakan, selama hidupnya ia tidak pernah memikirkan soal neraka. Ia hanya menerima Al-Quran itu dan menyimpannya di rak buku selama bertahun-tahun. Frankel tidak pernah membuka-bukanya.
Beberapa tahun kemudian, Frankel menjadi ragu dengan komunisme yang dianutnya setelah melihat bagaimana prinsip komunisme di praktekkan di banyak negara. Ia lalu memutuskan untuk tidak lagi menjadi seorang komunis.
Frankel mengungkapkan, sejak kecil sebenarnya ia sudah memikirkan tentang apa makna hidup ini sesungguhnya; mengapa ia ada di dunia ini, kemana ia akan menuju dan mengapa ada orang yang menderita. Tapi pikiran-pikiran hanya mengendap di kepalanya, hingga beranjak dewasa dan kuliah, Frankel hanya memfokuskan aktivitasnya pada belajar. Hingga ia mengalami hal yang akan membawa perubahan padanya, kematian nenek dimana Frankel pernah belajar tentang Alkitab dan kisah nabi-nabi.
Kematian Nenek yang Mendadak
Pengalaman ini menggetarkan hati Frankel. Betapa tidak, sehari sebelum ia menerima kabar kematian sang nenek, Frankel dan neneknya sempat menikmati makam malam. Waktu itu, Frankel masih mahasiswa dan tinggal di Washington DS, ia mendapat kejutan berupa kunjungan nenek, bibi dan seorang sepupunya.
Frankel menghabiskan waktu sepanjang sore berbincang-bincang dengan neneknya. Frankel menceritakan keinginannya untuk pindah kuliah dan memperdalam studi tentang China. Malamnya, Frankel, nenek, bibi dan sepupunya pergi keluar untuk makam malam. Frankel tidak melihat tanda-tanda bahwa itulah malam terakhir ia bertemu dengan neneknya. Setelah makan malam, Frankel diantar pulang ke asrama.
Pagi dinihari, Frankel dikejutkan oleh dering telepon dari sepupunya, mengabarkan bahwa nenek meninggal dunia. Franke kaget dan tak percaya. Sepupunya bilang, nenek terkena serangan jantung saat tidur. Frankel langsung terbayang kembali pertemuan dengan neneknya semalam, ia tak menyangka neneknya akan "pergi" secepat ini.
Frankel pulang ke New York untuk menghadiri pemakaman neneknya. Pemakaman dilakukan dengan tradisi Yahudi. Pada Rabbi yang memimpin pemakaman, Frankel menanyakan tentang tradisi yang dilakukan keluarga Yahudi saat salah satu anggota keluarga meninggal dunia. Ia menanyakan, mengapa saat pemakaman, Rabbi mengatakan bahwa nenek sudah diambil kembali oleh Tuhan.
"Lalu dimana nenek sekarang? Setelah diambil Tuhan, kemana nenek pergi? kemana kita juga akan pergi, dan mengapa kita ada di dunia ini," tanya Frankel pada Rabbi ketika itu.
Mendengar pertanyaan-pertanyaan itu, sang Rabbi, ungkap Frankel, melihat jam tangannya dan berkata, "Saya harus pergi" tanpa memedulikan betapa marahnya Frankel mengalami hal semacam itu, pertanyaan-pertanyaannya sama sekali tak dijawab.
Mencari Kebenaran
Frankel mencoba mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya itu. Saat itu, usia Frankel masih 19 tahun. Ia mengunjungi komunitas Yahudi, tapi jawaban yang diberikan tidak memuaskannya. Orang-orang Yahudi itu mengatakan, Tuhan--yang ingin diketahui Frankel--adalah satu-satunya Tuhan milik orang Yahudi.
Akhirnya, Frankel memutuskan untuk belajar sendiri. Ia mulai membaca isi Alkitab. Saat berkunjung ke Inggris, ia didekati oleh sejumlah orang penganut Kristen Evangelis. Tentu saja orang-orang itu ingin menarik Frankel sebagai penganut Kristen Evangelis, dan Frankel berpikir untuk mencobanya.
Saat membaca Alkitab, Frankel merasakan cinta yang kuat dan penghormatan terhadap Yesus. Tapi yang tidak bisa diterimanya, Alkitab menyuruhnya menerima Yesus sebagai Tuhan dan penyelamatnya. Bagi Frankel, Yesus tidak lebih seperti kakak kesayangan atau seperti seorang guru. Lagi-lagi Frankel merasa tidak menemukan jawaban yang memuaskan atas pertanyaan-pertanyaannya tentang ketuhanan.
Frankel kembali mempelajari hal-hal lainnya, mulai dari filosofi agama Budha, filosofi Yunani, Romawi dan sejarah. Tapi semuanya belum menjawab pertanyaan Frankel. Saat kembali ke New York dari Inggris, Frankel bertemu dengan beragam pemuka agama. Ia mencoba berdiskusi dengan mereka soal agama, meski ia sendiri skeptis.
Interaksi dengan Al-Quran dan Menjadi Muslim
Interaksinya pertama Frankel dengan Quran berawal ketika ia bertemu dengan para aktivis Nation of Islam. Salah seorang diantara aktivis itu memberinya salinan Surat Al-Kahf beserta terjemahannya. Frankel membawa salinan salah satu surah dalam Quran itu ke rumah, dan ia teringat akan Al-Quran yang pernah diberikan temannya enam tahun yang lalu.
Frankel mulai membaca isi Al-Quran lembar demi lembar. Frankel merasakan sesuatu yang berbeda dibandingkan ketika ia membaca Alkitab. Membaca Quran, Frankel merasa Tuhan sedang bicara langsung padanya. Di satu titik, Frankel pernah sampai meneteskan air mata, merinding, ia merasa bulu kuduknya berdiri, saat membaca isi Al-Quran.
Januari 1990, Frankel bertemu dengan teman-temannya semasa sekolah menengah. Mereka minum kopi sambil berbincang menanyakan kabar masing-masing. Seorang teman yang tahu bahwa dulu Frankel adalah seorang komunis bertanya, "Apa yang kamu yakini sekarang?" dan spontan Frankel menjawab, "Yah, saya percaya pada Tuhan. Hanya ada satu Tuhan."
Jawaban itu tentu saja membuat teman-temannya terpana. Mereka bertanya, darimana Frankel tahu bahwa Tuhan itu satu. Frankel menjawab, ia tahu dari Al-Quran. Salah seorang temannya yang muslim menanyakan apakah Frankel membaca Quran, dan oleh sebab itu, Frankel pun harus percaya bahwa Quran adalah pesan-pesan Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Frankel menjawab "ya", ia percaya Muhammad utusan Allah. Temannya lalu mengatakan, maka Frankel sudah menjadi seorang muslim.
Frankel hanya tertawa mendengar perkataan temannya yang asal Pakistan itu. "Saya seorang muslim? Kamu yang muslim, kamu dari Pakistan. Saya cuma orang yang percaya pada Tuhan," tukas Frankel.
Tapi temannya bersikeras, "Tidak, kamu adalah seorang muslim. Kamu percaya tidak ada Tuhan selain Tuhan yang satu dan percaya bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Maka, kamu adalah seorang muslim."
Frankel syok mendengar perkataan sahabatnya itu.
Selama beberapa hari kemudian, ia memikirkannya. Frankel memutuskan untuk menelpon Mansour, teman yang dulu memberinya Al-Quran. Mansour kuliah di Pennsylvania dan bekerja di Asosiasi Mahasiswa Muslim di sana. Frankel meminta Mansour mengirimkan literatur-literatur tentang Islam dan persyaratan untuk menjadi seorang muslim.
Mansour mengiriminya sekira dua buku.
Dari buku-buku itu, Frankel membaca tentang rukum Islam, bagaimana caranya salat, wudu dan ucapan dua kalimat syahadat.
Frankel mulai mempraktekkan salat diam-diam di kamarnya--karena waktu itu ia sudah tinggal lagi dengan orang tuanya--bahkan untuk pertama kalinya ia ikut berpuasa di bulan Ramadan. Kondisi itu berlangsung hampir 8 bulan, dan itulah kehidupan pertamanya sebagai muslim.
Frankel tak bisa menyembunyikan keinginannya lagi. Ia menceritakan semua pada orang tuanya bahwa ia ingin menjadi seorang muslim. Ibunya bereaksi keras, menangis dan menanyakan mengapa semua ini bisa terjadi.
Hubungan Frankel dengan kedua orang tuanya jadi kaku. Frankel mencoba meyakinkan ayah ibunya bahwa ia menjadi mahasiswa dan manusia yang lebih baik setelah memeluk Islam.
"Alhamdulillah, kedua orang tua saya akhirnya menerima keislaman saya. Buat saya, ini adalah perjalanan selama hampir 20 tahun dan hanya Allah yang tahu, bagaimana dan kemana semua ini akan berakhir," ujar Frankel.
"Maka pesan saya bagi para mualaf maupun mereka yang sudah lama menjadi muslim, untuk selalu bersabar dan lihatlah kejutan yang akan diberikan Allah pada kita, bukan dengan ketakutan tapi dengan cinta dan harapan," tukas Frankel. (kw/oi)

Leslie Carter: Hari Itu ke Islamic Center, Hari Itu Pula Ia Bersyahadat


Rabu, 07/09/2011 13:42 WIB | Arsip | Cetak
Sejak usia remaja, Leslie Carter sudah menyimpan banyak pertanyaan tentang ajaran Kristen yang dianutnya, terutama "tradisi" pengakuan dosa. Ia merasa tidak nyaman ketika harus masuk ke sebuah ruangan sempit dan menceritakan tentang dosa-dosanya pada seorang pendeta, lalu pendeta itu mengatakan begini dan begitu, kemudian ia dengan mudahnya mengampuni dosa.
"Saya kira, dosa-dosa saya seharusnya adalah urusan saya sendiri dengan Tuhan" kata Carter.
Perempuan asal Irlandia itu baru masuk Islam sekira tiga tahun yang lalu, karena menikah dengan seorang pria muslim. Awalnya, Carter dan suaminya cuma saling kenal saja dan tidak pernah membicarakan agama masing-masing. Lelaki muslim--yang sekarang menjadi suaminya--itu pergi ke masjid, Carter tetap ke gereja.
"Ia merayakan Idul Fitri, saya merayakan Natal. Pokoknya, tidak ada pembicaraan soal agama," ujar Carter.
Carter mengaku mulai banyak bertanya tentang Islam, ketika ia perlahan-lahan mulai menjauh dari ajaran Kristen. Carter mulai membaca buku-buku tentang hak-hak perempuan dalam Islam, bagaimana pandangan Islam tentang Yesus dan dari buku-buku itu Carter merasa pertanyaan-pertanyaannya di masa remaja tentang ajaran Kristen, terjawab oleh agama Islam.
Meski demikian Carter menyatakan ia tidak pernah merencanakan untuk masuk Islam. Semuanya terjadi begitu saja, spontan. Hari itu, Carter tak pernah menyangka akan menjadi seorang muslim. Di hari Carter masuk Islam, lelaki yang menjadi suaminya sekarang hendak ke Islamic Center untuk menunaikan salat. Carter yang tadinya berencana ke pasar, akhirnya ikut dengannya dan menjumpai seorang teman perempuannya yang bekerja di Islamic Center tersebut.
"Saya benar-benar tidak punya rencana untuk menjadi seorang muslim pada hari itu. Saya selalu mengatakan, mungkin saya akan masukk Islam sepuluh tahun kemudian atau apapun. Tapi ketika saya berada di sana (Islamic Center) dan mendengar lantunan azan, saya mulai menangis. Seperti ada cahaya atau sesuatu dalam hati saya. Dan saya tahu, saya tidak bisa meninggalkan masjid tanpa mendeklarasikan keimanan saya," tutur Carter mengungkapkan kisahnya saat masuk Islam.
Hari itu juga, Carter mengucapkan dua kalimat syahadat dan resmi menjadi seorang muslimah. Ditanya soal perbandingan ajaran Kristen dan Islam, Carter mengakui bahwa banyak ajaran kedua agama itu yang serupa. Perbedaan yang paling besar, menurut Carter, pada konsep Trinitas dan pengakuan dosa yang ada dalam ajaran Kristen.
Sebagai orang Irlandia, Carter berusaha membedakan antara latar belakang kebangsaannya dengan agama Islam yang dianutnya. "Saya selalu menganggap diri saya sebagai orang Irlandia tulen, tapi yang memeluk agama Islam. Antara latar belakang kebangsaan dan agama tidak bisa disatukan, karena saya melihat beragam bangsa yang memasukkan unsur budayanya ke dalam agama," jelas Carter.
Setelah menjadi muslim, Carter mengaku tidak selalu mengenakan jilbab, tapi ia selalu menghindari pakaian yang terbuka dan ketat. Sekarang ia bekerja di departemen perempuan di Islamic Cultural Center di Irlandia, yang dibangun dan didanai oleh Yayasan Al-Maktoum dari Dubai.
Carter tidak pernyah menyangka, akhirnya ia akan menjadi seorang muslimah. Sejak masa remaja, yang sering ia dengar adalah perkataan-perkataan bernuansa rasial terhadap komunitas Muslim. Sekarang ia paham, bahwa orang-orang yang mencela Islam karena kuran pendidikan, kurang moralitasnya dan kurang penghormatannya pada kelompok masyarakat lain.
Sekarang, kata Carter, banyak orang yang datang ke Islamic Center tempatnya bekerja, hanya untuk meminta Al-Quran. "Al-Quran itu untuk mengklarifikasi apa yang tidak mereka tahu selama ini," ujar Carter.
Pasca serangan 11 September 2001 di AS, di Irlandia sempat muncul gelombang kecurigaan dan kebencian terhadap muslim. "Tapi banyak juga orang yang akhirnya berpaling ke Islam, mereka masuk Islam. Mereka yang belum masuk Islam melihat begitu banyak orang yang masuk Islam dan berpikir, 'Pasti ada sesuatu yang indah sehingga banyak orang yang pindah agama (Islam)," papar Carter. Irlandia bukan negara yang sangat luas, tapi di negeri itu tercatat terdapat 23.000 orang yang masuk Islam.
Di rumah, Carter berusaha menanamkan gaya hidup islami pada putrinya sejak usia dini. Sekarang, putrinya yang masih berusia lima tahun, saat menonton tv dan melihat perempuan yang mengenakan busana agak terbuka, ia langsung berteriak "Haram, ganti saluran tivi-nya!".
Putri kecil Carter juga tidak suka mengenakan baju yang panjangnya di atas dengkul. Ia lebih suka mengenakan gaun panjang yang menutup kakinya. "Begitulah dia, dan cara telah ia pilih," kata Carter tentang putrinya. (kw/oi)

Atlet Cricket Pakistan: Prestasinya Makin Bersinar Setelah Masuk Islam



Sejak masuk Islam pada tahun 2005, karir Mohammad Yousuf sebagai atlet cricket Pakistan semakin bersinar. Ia pernah memecahkan rekor dalam mencetak skor dalam setahun musim pertandingan. Atlet yang sebelumnya memeluk agama Kristen mengakui bahwa agama barunya memberinya spirit baru dan memberikan ketenangan dalam hidupnya.
Lelaki yang sekarang berusia 37 tahun itu mengatakan, keyakinannya akan pertolongan Allah Swt. yang menjadi katalis kesuksesannya di cabang olahraga cricket, dan mampu mengangkat citra tim nasional Pakistan.
"Hanya dengan pertolongan Allah saya bisa mencapai ini semua," ujar lelaki bersuara lembut itu
Banyak yang memberikan dukungan pada Yousuf--sebelumnya bernama Yousuf Youhana--saat ia memutuskan mengucapkan dua kalimat syahadat.
Yousuf merasa Allah Swt. memudahkan karirnya di cabang olahraga ini, karena setelah menjadi seorang muslim, Yousuf banyak mencetak skor yang membawa kemenangan bagi tim cricket Pakistan. "Perpindahan agama saya telah memberinya kekuatan untuk lebih fokus saat berada di lapangan. Saya punya uang dan popularitas. Tapi saya selalu merasa gelisah," ujarnya.
Ketenangan itu didapatnya setelah ia rutin melaksanakan salat lima waktu. "Menunaikan salat lima waktu sehari, membuat Anda disiplin dan kedisplinan itu akan terbawa saat bertanding di lapangan," tukas Yousuf.
Pelatihnya, Bob Woolmer mengakui bahwa agama baru yang dianut Yousuf, membantunya untuk memperbaiki teknik pukulannya dan membangun kekuatan mentalnya. "Islam telah membantunya untuk fokus pada ketrampilannya dan memberik bentuk bagi pola latihannya," kata Woolmer.
"Tak ada keraguan, keislaman Yousuf telah mendorongnya pada sikap yang lebih tenang dalam menghadapi situasi apapun," sambung Woolmer, tanpa mengabaikan bahwa Yousuf memang atlet cricket yang berbakat. (kw/TTT)

Terkesan Sosok Nabi Muhammad Saw. Janna Masuk Islam



Suara azan yang didengarnya pertama meninggalkan kesan yang begitu mendalam dalam hatinya. Ia tak pernah mengerti apa yang terjadi, tapi sejak itu ia merasa ada sesuatu yang berubah pada dirinya. Ia ingin tahu apa makna semua itu, apa arti kata-kata yang didengarnya saat azan. Dan semua itu terjawab bertahun-tahun kemudian.
Namanya Janna, orang Yunani asli tapi lahir di Jerman. Keluarganya adalah penganut agama Kristen ortodok yang sangat taat. Kedua oran tuanya memastikan semua anak-anaknya, termasuk Janna, dididik dan dibesarkan dengan ajaran Kristen, dengan cara ortodok yang tradisional.
Keluarga Janna selalu pergi liburan bersama-sama. Ketika berusia antara 12-13 tahun, Janna dan keluarga besarnya berlibur ke Uni Emirat Arab. Inilah liburan yang paling berkesan bagi Janna sepanjang hidup. Siapa kira liburan itu yang kemudian menuntunnya pada Islam. Agama yang dipeluknya sekarang.
Janna kembali mengingat kembali liburannya ketika itu. Sepekan pertama, ia dan keluarganya berkeliling Uni Emirat Arab. Suatu hari, di hari Jumat, mereka sedang dalam perjalanan menuju Pasar Al-Souq. Tiba-tiba terdengar suara azan dan Janna melihat orang-orang di sekitarnya langsung menghentikan aktivitasnya. Yang sedang mengendarai mobil pun berhenti, mengambil sajadah, menggelarnya, lalu menunaikan salat meski di pinggir jalan.
"Suara azan telah mengubah sesuatu dalam diri saya, subhanallah. Saya tidak tahu apa itu, tapi setelah itu saya merasa ada perubahan dan perubahan itu mengendap dalam diri saya. Saya ingin tahu arti kata-kata dalam azan, apa maknanya," tutur Janna mengingat kembali pengalamannya ketika pertama kali mendengar azan.
Takut Kematian
Janna adalah tipikal orang yang sangat takut dengan hal-hal yang berhubungan dengan kematian. Ia selalu menghindari perbicangan tentang kematian dan tidak pernah menghadiri acara pemakaman. Tapi semuanya berubah ketika ia menyaksikan sendiri proses kematian di depan matanya.
"Paman saya menghembuskan napas terakhirnya di hadapan saya. Pengalaman itu mengubah saya. Saya mulai merasa bahwa kehidupan ini tidak seperti yang ada dalam pikiran saya. Kita menginvestasikan banyak tenaga dan waktu untuk banyak hal yang bisa lenyap begitu saja dalam hitungan detik," tukas Janna.
Tapi setelah menyaksikan proses kematian pamannya, Janna hampir tak bisa tidur dengan tenang. Ia menjalani masa-masa dimana ia terbangun tiga kali sepanjang malam, hanya untuk melihat apakah ayah dan ibunya masih bernapas.
Setelah belajar Islam, Janna tahu apa penyebab ketakutannya pada hal-hal yang berkaitan dengan kematian. "Saya selalu merasa takut pada kematian karena saya berpikir bahwa kematian adalah akhir dari segalanya," ujar Janna. Sedangkan dalam Islam, kematian hanya pemutus kehidupan di dunia untuk melanjutkan kehidupan yang lebih kekal di akhirat kelak.
"Ketakutan itu membuat saya makin bersemangat untuk mencari tahu tentang Islam. Saya sudah mempelajari agama-agama lainnya, tapi saya belum menemukan kebenaran apapun dalam agama-agama itu atau kebenaran yang membuat saya benar-benar yakin," tukas Janna.
Biografi Nabi Muhammad dan Syahadat
Janna merasa benar-benar yakin dengan Islam ketika membaca biografi Nabi Muhammad Saw, yang mengingatkan nya pada apa yang pernah ia ketahui dan pernah ia baca tentang Yesus (Nabi Isa).
"Dan saya terus membaca dan membaca. Figur ini (Nabi Muhammad Saw.) adalah orang yang mulia dengan karakter dan kepribadian yang sangat mengagumkan, dan saya kira, saya tidak pernah menemukan orang seperti ini sebelumnya," papar Janna.
Setelah membaca buku biografi itu, Janna yakin bahwa saya harus menghapus semua yang saya tahu tentang Islam yang selama ini ternyata salah. Janna lalu memulai kembali pencariannya. Tidak butuh waktu lama bagi Janna untuk mengetahui bahwa Islam-lah kebenaran itu dan tidak ada satu agama pun di dunia ini yang bisa menandinginya.
"Ketika saya mulai membaca buku-buku tentang Islam, saya menemukan semua jawaban yang tidak saya temukan dalam agama saya sendiri," tukas Janna.
Meski sudah merasa yakin dengan Islam, Janna masih takut untuk bersyahadat karena ia tahu orang tua dan keluarganya tidak akan pernah menerima Islam. "Jika mereka tahu tentang hal ini, hidup saya akan berubah secara dramatis," kata Janna.
Ia lalu bertemu dengan seorang muslimah asal Mesir, bernama Noha di Jerman. "Noha banyak membantu saya, karena saya berjumpa dengannya tepat ketika saya mulai berdoa agar saya segera menemukan kebenaran dan memiliki keberanian atas apa yang sedang saya lakukan," ungkap Janna.
Janna dan Noha sering bertemu dan berdiskusi tentang Islam. Noha menjelaskan semua hal tentang Islam dan menjawab semua pertanyaan Janna, karena Janna yakin bahwa agamanya selama ini salah dan ia tidak mau hidup dalam kesalahan itu.
Sekira satu setengah bulan Janna memikirkan tentang kebenaran yang diketahuinya. Ia pun memutuskan masuk Islam. Janna mengucapkan dua kalimat syahadat di asrama mahasiswi di Jerman. Awalnya hanya ada Noha dan Janna di ruangan, tapi akhirnya banyak mahasiswa yang yang tahu ada seseorang yang akan masuk Islam, sehingga ruangan akhirnya dipenuhi 20 orang yang menjadi saksi keislaman Janna.
"Alhamdulillah, hari itu, saya mengucapkan syahadat. Saya tidak akan pernah melupakannya, dan saya tidak akan pernah melupakan pertama kali saya menunaikan salat," tukas Janna. (kw/oi)

Dibalik Perang Irak, Tentara-Tentara Korea Selatan Masuk Islam



Perang Irak memberi makna lain bagi "Unit Zaitun", nama pasukan Koera Selatan yang ikut dikirim ke Irak pada tahun 2006 sebagai bagian dari pasukan koalisi AS. Sebelum berangkat dan ditempatkan di kota Irbil, kota warga Kurdi di utara Irak, 37 anggota unit ini menyatakan diri masuk Islam dan bersyahadat di Masjid Hannam-dong, Seoul.
"Saya memutuskan menjadi seorang Muslim, karena saya merasa Islam sebagai agama yang lebih humanis dan damai dibandingkan agama-agama lainnya. Kalau kita bisa secara religius berinteraksi dengan warga lokal, saya pikir ini akan banyak membantu kami menjadi misi damai untuk melakukan rekonstruksi di Irak," kata Letnan Son Hyeon-ju dari pasukan khusus Brigade ke-11, salah satu tentara Korea Selatan yang masuk Islam.
Saat itu, pada hari Jumat di bulan Juli 2006, Hyeon-ju beserta 36 tentara Korea Selatan lainnya mengambil wudu, lalu duduk berjajar di dalam Masjid Hannam-dong. Dengan bimbingan imam masjid, mereka melafazkan dua kalimat syahadat dan mulai hari itu, para tentara yang akan diberangkatkan ke Irak itu resmi menjadi muslim.
Militer Korea mungkin tak pernah menyangka kesempatan untuk mempelajari Islam dan bahasa Arab bagi para tentara, terutama Unit Zaitun, yang akan dikirim ke Irak, akan membuat puluhan tentaranya masuk Islam. Pertimbangannya ketika itu, karena mayoritas penduduk kota Irbil adalah muslim, sedangkan tentara Korea yang akan dikirim adalah nonmuslim, maka para tentara itu dikirim ke Masjid Hannam-dong untuk belajar dan memahami tentang Islam dan komunitas Muslim. Ternyata, sebagian tentara itu malah benar-benar jatuh cinta pada Islam dan memutuskan untuk memeluk agama Islam.
Salah seorang anggota pasukan Unit Zaitu dari Divisi ke-11 Angkatan Bersenjata Korea Selatan, Kopral Paek Seong-uk yang masih berusia 22 tahun mengatakan, "Di kampus, saya mengambil jurusan bahasa Arab dan setelah membaca isi Al-Quran, saya jadi sangat tertarik pada Islam. Saya pun memutuskan untuk menjadi seorang muslim selama mengikuti program yang diselenggarakan Unit Zaitun, sebuah pengalaman religius buat saya."
Kopral Paek Seong-uk dengan antusias mengungkapkan keinginannya jika sudah sampai di Irak. "Saya ingin ikut serta dalam acara-cara keagamaan dengan warga lokal, sehingga mereka bisa merasakan rasa persaudaraan. Saya juga juga ingin memastikan warga lokal bahwa pasukan Korea Selatan bukan pasukan penjajah, tapi pasukan yang dikerahkan untuk membantu misi kemanusiaan di Irak," ujar Paek Seong-uk.
Tentara-tentara Korea yang memilih menjadi muslim itu, paham betul pentingnya homogenitas agama di tengah komunitas Muslim. "Jika agama Anda sama, Anda tidak akan diperlakukan sebagai orang asing, tapi akan diperlakukan seperti layaknya warga lokal. Lebih dari itu, Islam mengajarkan tata cara perang yang beradab. Muslim tidak boleh menyerang kaum perempuan, bahkan dalam peperangan," kata seorang pejabat militer Korea Selatan, mengomentari puluhan tentaranya yang masuk Islam. (kw/chosun.com/TTI)

Monica, Pramugari Asal Jepang yang Jatuh Cinta pada Islam


Monica tumbuh di tengah keluarga yang harmonis, yang memberinya peluang untuk sukses baik dalam pendidikan maupun dunia kerja. Sebagai orang Jepang, Monica juga sudah terbiasa dengan kehidupan yang serba berteknologi tinggi. Hampir tak ada masalah dalam hidup Monica, ia benar-benar menikmati kemudahan hidupnya.
Keluarga Monica adalah keluarga Jepang yang menganut agama Budha. Tapi sejak kecil ia tidak diberi bekal pendidikan agama yang dianut keluarganya, dan kedua orangtuanya pun tidak terlalu mempermasalahkan soal agama pada anak-anaknya.
"Kendati demikian, sejak kecil saya sering bertanya-tanya tentang alam semesta, keberadaannya dan tentang kehidupan. Pertanyaan-pertanyaan itu masih sering menghantui pikiran saya hingga saya berusia 20 tahun, saat saya menyelesaikan kuliah dan mulai bekerja sebagai pramugari di sebuah maskapai penerbangan Jepang," tutur Monica.
"Saya berharap menemukan kedaiaman dan sesuatu yang bermakna lewat pekerjaan saya, tapi saya tetap merasa hidup saya sangat kosong. Seperti ada sesuatu yang hilang, dan saya hampir putus asa untuk menemukan apa yang hilang itu," sambung Monica.
Tapi Allah Maha Pengatur segalanya. Tahun 1981 Monica ditakdirkan untuk bekerja sebagai penerjemah untuk delegasi negara Jepang di sebuah badan pariwisata di Mesir. Ia bekerja sebagai penerjemah selama satu tahun. Lewat perkenalan dengan teman-teman barunya selama di Mesir, Monica mulai mengenal dan mempelajari agama Islam. Setelah masa kerjanya selesai dan kembali ke tanah airnya, Jepang, Monica bertekad untuk terus mempelajari Islam dengan harapan mendapat jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang sejak lama menggantung di pikirannya.
Setelah mempelajari Islam, ia menyadari bahwa informasi yang ia dapatkan tentang Islam selama ini dari sekolah dan televisi, sangat terbatas dan sudah terdistorsi. "Sama dengan kebanyakan orang Jepang lainnya yang membaca dan mendengar berita tentang dunia Islam, tidak lebih hanya berita-berita tentang kekerasan," ujar Monica.
Begitu tiba kembali di Jepang, Monica berkunjung ke Islamic Center di Tokyo dan meminta Al-Quran yang terjemahannya dalam bahasa Jepang. Selama tiga tahun, Monica berkunjung ke Islamc Center secara rutin, dan belajar agama Islam dengan para ulama di Islamic Center itu.
"Seiring dengan berjalannya waktu, pemahaman dan penghargaan saya terhadap agama Islam makin bertambah. Saya menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan folosofis saya selama bertahun-tahun, pada agama yang indah ini," imbuhnya.
Monica menyatakan sangat terkesan dengan bagaimana Islam menempatkan kaum perempuan pada posisi yang mulia. "Bagaimana Islam melindungi dan menghormati kaum perempuan, baik perasaannya, pemikiran serta persoalan susila, lebih dari apa yang saya bayangkan selama ini," tukas Monica, "saya mulai merenung sendiri dan berdoa pada Allah agar memberi petunjuk pada saya sebuah jalan kebenaran."
Untuk menghayati keberadaan dan kebesaran Allah Swt. Monica kerap melakukan meditasi, mentadaburi ciptaan-ciptaan Allah mulai dar pohon, bunga-bunga, hewan, dan bagaimana Allah Swt. dengan sempurna menciptakan disain kehidupan yang seimbang di bumi ini.
"Dan saya melihat Allah dalam ciptaan-ciptaanya, hati dan kekaguman saya menuntun saya pada Islam. Saya merasakan cahaya Allah menerangi hati saya. Kebahagiaan saya membuncah, seiring dengan tumbuhnya rasa keimanan ini. Saya merasa Allah selalu bersama saya di setiap waktu," tukas Monica.
Lagi-lagi Allah membuka jalan bagi Monica untuk lebih mengenal Islam. Ia kembali bekerja sebagai pramugari maskapai penerbangan yang melayani rute penerbangan dari dan ke Indonesia selama satu tahun. "Saya terkesan dengan Muslim Indonesia yang taat dan selalu berusaha menerapkan apa yang ada dalam Al-Quran dalam kehidupan sehari-hari mereka. Teman-teman Indonesia juga banyak membantu saya memahami Islam lebih baik, sehingga kecintaan saya pada Islam makin besar," ungkap Monica.
Ia mengaku menghadapi kesulitan dengan keluarganya saat mengetahui ketertarikan Monica pada Islam. Namun Monica bertekad untuk menjadi seorang muslimah apapun tantangan yang akan dihadapinya. Ia mulai menunaikan salat lima waktu dan belajar menghapal Al-Quran agar bisa menunaikan salat dengan baik dan benar.
Tahun 1991, Monica berkunjung ke Mesir dan mengucapkan dua kalimat syahadat di Universitas Al-Azhar, Kairo. Di Mesir, ia mendapatkan pekerjaan, lalu menikah dengan seorang lelaki Mesir. Sekarang, Monica menetap di Mesir dengan suami dan seorang anak perempuannya bernama Maryam.
"Alhamdulillah, saya bahagia menjalani kehidupan saya yang sekarang, dengan agama baru dan keluarga baru yang muslim. Saya tetap menghapal Al-Quran dan kalau ada waktu senggang, saya dan suami belajar dan membaca Quran bersama-ssama ..."
"Saya berharap bisa mengajak keluarga saya yang lain untuk masuk Islam, Insya Allah. Terus terang, pada umumnya, masyarakat Jepang kehilangan satu komponen penting untuk mencapai kehidupan yang bahagia, meski secara peradaban mereka adalah masyarakat yang hidup dengan teknologi serba maju. Saya yakin, banyak diantara mereka yang akan masuk Islam, jika mereka mendapatkan informasi dan pemahaman yang benar tentang Islam," tandas Monica. (kw/TTI)

Abdur Raheem Green: "Karena Saya Tak Percaya Tuhan Bisa Mati"



Anthony Vatswaf Galvin Green mengubah namanya menjadi Abdur Raheem Green setelah memeluk Islam. Sejak kecil, lelaki kelahiran Dar As-Salam, Tanzania ini, sering mempertanyakan konsep ajaran Katolik yang menurutnya banyak yang tak masuk akal, hingga ia menemukan cahaya Islam.
Ibu Green yang asli Polandia dan penganut Katolik Roma yang taat, membesarkan Green dan anak-anaknya yang lain dengan didikan ala Katolik. Green bahkan sempat disekolahkan di sebuah keuskupan Katolik Roma di Yorkshire di utara Inggris.
Hal pertama yang mengusik pikirannya tentang ajaran Katolik adalah ketika ia mendengar ibunya berdoa dan menyebut "Bunda Maria, ibu dari Tuhan Yesus". Green merasa aneh dengan doa itu, bagaimana bisa Tuhan punya ibu? Karena Yesus yang ia kenal selama dalam konsep ajaran Katolik adalah Tuhan, bukan nabi seperti dalam ajaran Islam.
"Saya duduk dan memikirkan tentang ibu dari tuhan itu. Jika Bunda Maria adalah ibu dari tuhan (Yesus), ia pastilah lebih juga tuhan yang lebih baik dari tuhan itu sendiri. Itulah pertanyaan pertama yang muncul di kepala saya," tutur Green mengenang pengalaman masa kecilnya.
Saat masuk sekolah di keuskupan, Green mulai lebih banyak memikirkan banyak hal, mempelajarinya dan melakukan riset terhadap ajaran Katolik yang dianutnya. Salah satunya tentang "kewajiban" pengakuan dosa yang ditetapkan oleh para pendeta di keuskupannya. Green masih ingat, seluruh siswa diwajibkan paling tidak sekali setahun untuk melakukan pengakuan dosa.
"Para pendeta selalu mengatakan, 'kalian harus mengakui semua dosa kalian, jika tidak mengakui semua dosa, pengakuan di akhir nanti tak ada gunanya dan tak satu pun dosa kalian yang akan diampuni'," ujar Green menirukan ucapan para pendeta di sekolahnya dulu.
Buat Green, doktrin pengakuan dosa adalah doktrin aneh dan tidak lebih dari konspirasi besar untuk mengendalikan orang lain. "Mengapa? Mengapa saya harus mengakui dosa-dosa saya pada para pendeta itu? Tidak bisakah saya meminta pada Tuhan saja untuk mengampuni saya? Apalagi menurut Alkitab Yesus berkata, berdoalah pada Bapak (Tuhan Yesus) untuk meminta ampunan atas dosa-dosa kita. Jika demikian, mengapa saya harus datang pada seorang pendeta untuk meminta pengampunan dosa?" papar Green.
Green merasa ada persoalan besar dalam doktrin Katolik, doktrin inkarnasi dimana tuhan bisa menjelma menjadi manusia.
Mencari Jawaban
Ketika usia 11 tahun, ayah Green mendapat pekerjaan sebagai Manajer Umum di Bank Barclays di Kairo. Sejak itu, sampai 10 tahun kemudian, Mesir menjadi tempat Green menghabiskan liburan sekolah, karena Green tetap bersekolah di Inggris.
Green selalu menikmati liburannya di Mesir, dan ketika ia kembali ke Inggris, banyak pertanyaan yang menghantui pikirannya. Doktrin ehidupan Barat yang ia kenal selama ini, selalu mengukur kebahagiaan hidup dengan kecukupan dan terpenuhi kebutuhan materi. Membandingkannya dengan kehidupan masyarakat Muslim di Mesir, Green jadi bertanya-tanya, mengapa ia harus tinggal di sini (Inggris)? Apa tujuan hidupnya? Untuk alasan apa manusia ada? Apa arti semua ini? apa artinya cinta? hidup itu untuk apa?
Green merenungi semua pertanyaan dalam benaknya. Bukan, hidupnya bukan hanya untuk sekolah, lulus ujian dengan nilai bagus, lalu kuliah, dapat gelar sarjana, kemudian dapat pekerjaan yang bisa memberikannya banyak uang. Lalu menikah, punya anak, mengirim mereka ke sekolah terbaik, dan seterusnya ...
"Tidak, saya tidak percaya hidup hanya untuk melakukan itu semua," tukas Green.
Green termotivasi untuk mencari jawaban sesungguhnya. Ia pun mulai mencari tahu tentang ajaran agama lain, yang ia pikir bisa memberikan pandangan dan pemahaman padanya tentang apa hidup itu dan apa tujuan hidup sebenarnya.
Sebuah peristiwa penting pun terjadi. Selama 10 tahun bolak-balik berlibur di Mesir, Green hanya mengenal satu orang yang mau ngobrol dengannya secara terbuka tentang Islam. Suatu hari Green terlibat perbincangan dengan orang itu, dan ia seperti merasa tinju seorang Mike Tyson mendarat di mukanya.
Dalam perbicangan selama 40 menit, orang itu akhirnya bertanya pada Green, "Kamu percaya Yesus itu Tuhan?" Green menjawab, "Ya." Lalu orang itu bertanya lagi, "Dan kamu percaya Yesus mati di salib?". Green menjawab, "Ya."
"Jadi kamu percaya Tuhan itu mati," tanya orang itu lagi.
Pertanyaan itu seakan menampar muka Green, dan ia tiba-tiba menyadari bahwa fakta itu sangat bodoh dan tidak masuk akal, bagaimana Tuhan bisa mati, mana mungkin manusia bisa membunuh Tuhan. Mendadak Green tersadar bahwa selama ini ajaran Katolik telah mengindoktrinasinya dengan doktrin-doktrin yang membuat hidupnya tak nyaman.
Dalam usia muda, antara 19-20 tahun, Green menjalani kehidupannya sebagai hippis. "Saya berkata pada diri sendiri, lupakan soal agama, soal spiritualitas, lupakan semuanya. Mungkin hidup itu tidak ada maknanya, tak ada yang lebih penting dalam hidup kecuali menjadi orang kaya," ujar Green.
Persoalannya kala itu, Green tidak punya uang banyak. Ia lalu berpikir untuk mendapatkan uang banyak. Ia berpikir tentang negara-negara yang dianggapnya kaya dan mudah untuk mendapatkan uang, mulai dari Inggris, Amerika yang menjadi negeri impian, Jepang si negara kaya dari hasil kemajuan teknologinya, sampai Arab Saudi yang juga salah satu negara kaya.
Di titik Arab Saudi, Green mulai berpikir tentang apa agama yang dianut orang Arab, apa kita suci mereka? Green langsung mengingat Al-Quran dan ia pun pergi ke sebuah toko buku untuk membeli Al-Quran yang dilengkap dengan terjemahannya.
"Saya adalah seorang yang bisa membaca dengan cepat. Saya masih ingat dengan jelas, saat itu saya naik kereta, duduk dekat jendela dan membaca terjemahan Al-Quran. Saya memandang ke luar jendela sejenak, lalu membaca lagi. Saya bisa mengatakan inilah momen ketika saya menyadari dan memercayai bahwa Quran berasal dari Allah Swt," tutur Green.
Tak sekedar membaca, Green ingin mencoba apa yang diajarkan dalam Al-Quran. Pulang ke rumah, Green mencoba menunaikan salat meski ia tak tahu caranya. Ia cuma ingat pernah melihat juru masak keluarganya di Mesir menunaikan salat, dan Green mencoba meniru gerakan salat yang pernah dilihatnya itu.
Menjadi Seorang Muslim
Di hari selanjutnya, Green pergi ke sebuah toko buku yang merupakan bagian dari sebuah bangunan masjid. Ia melihat buku-buku tentang Nabi Muhammad dan buku tentang salat. Ketika melihat buku-buku itu Green berdecak kagum, "Wow, fantastis !"
Seorang lelaki lalu menyapanya, "Maaf, apakah Anda muslim?"
Green lalu menjawab, "Dengar, saya percaya hanya ada satu Tuhan dialah Allah Swt dan saya percaya Muhammad adalah utusan-Nya,"
"Kamu seorang Muslim !" pekik orang tadi
"Terima kasih," jawab Green.
Orang itu lalu berkata lagi, "Ini hampir masuk waktu salat, Kamu mau salat bersama-sama?"
Hari itu hari Jumat, karenanya masjid penuh dengan jamaah yang akan salat Jumat. Green ikut salat meski masih bingung dan gerakannya banyak yang salah. Tapi hari itu menjadi hari bersejarah bagi Green, hanya dalam waktu lima menit, ia mendapatkan banyak saudara baru, yang bersedia mengajarinya tentang Islam. Ya, hari itu juga, Green secara resmi mengucapkan dua kalimat syahadat yang menandai kemuslimannya. (kw/oi)